Minggu, 15 November 2015

Sistem Tanam Paksa di Jawa - Robert van Niel


BAB I
Identitas Buku

Judul Buku                              : Sistem Tanam Paksa di Jawa
Judul Asli                                : Java Under The Cultivation System
Penulis                                     : Robert van Niel
Tahun Terbit                            : Cetakan Pertama, 2003
Tempat Terbit                          : Jakarta
Penerbit                                   : PT Pustaka LP3ES Indonesia
Jumlah Halaman Buku            : 304 Halaman
Tebal Buku                              : 15,5 X 23 cm
Penerjemah                              : Hardoyo
Penyunting                              : Abdul Mun’im DZ dan E. Dwi Arya Wisesa
Editor                                      : Fauz Nur’alim
Pengantar                                : Suyatno Kartodirdjo
Cover Disigner                        : Yahya S
Daftar Isi Buku                       : Bab 1             Fungsi Sewa Tanah pada Masa Sistem Tanam Paksa di Jawa
Bab 2   Diperkenalkannya Penanaman Tebu Pemerintah di Pasuruan, 1830
Bab 3   Peraturan Produksi Gula di Jawa, 1830-1840
Bab 4   Tolok Ukur Perubahan Sistem Tanam Paksa di Jawa 1837-1851
Bab 5   Kebijakan Pemerintah Sipil di Jawa Selama Masa Awal Sistem Tanam Paksa
Bab 6   Komponen Tenaga Kerja Sistem Tanam Paksa di Jawa 1830-1835
Bab 7   Dampak Budidaya Tanaman Dagang Ekspor di Jawa Abad Ke-19
Bab 8   Hak Atas Tanah di Jawa
Bab 9   Jawa Abad Ke 19, Variasi Tema Transformasi Perdesaan
Bab 10 Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya.












Bab II
Pembahasan

BAB I
Fungsi Sewa Tanah pada Sistem Tanam Paksa di Jawa
            Perkenalan dan operasi Sistem Tanam Paksa (STP) di Jawa berkaitan erat dengan pungutan sewa tanah. Johannes Van den Bosch, tokoh yang menyusun dan menghidupkan sistem tanam paksa semasa pemerintahannya di Jawa (1830-1834). Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Sir Thomas Stamford Raffles, sebelum Inggris tiba di Jawa pada 1811, terdapat sejumlah usulan dan percobaan dilakukan oleh Belanda  untuk mengubah sistem yang ada di jawa tetapi sistem sewa tanah terutama dianggap berasal dari Raffles. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada. Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa diseluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggung jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sewa tanah awalnya dibayar dalam bentuk uang/barang, tetapi kemudian berganti menjadi uang saja. Menjelang tahun 1827, pemerintah Belanda mengaharuskan Sewa Tanah dibayar dalam bentuk emas atau perak dan sisanya dalam mata uang tembaga. Besarnya tergantung jenis tanah basah atau tanah kering. Segera setelah raffles memperkenalkan sistem tanam paksa, penilain dan pemungutan berdasarkan desa menjadi penilaian dan pemungutan yang secara langsung berhubungan dengan penanam perorangan, tetapi itu tidak dapat dijalankan. Ketika Indonesia dikembalikan ke Belanda tahun 1816, Sistem Sewa Tanah tetap dilaksanakan, tetapi pungutan dan penilaian dikembalikan pada basis desa. Sejak awal, sistem sewa tanah memang tidak mempunyai data yang akurat. Baru pada tahun 1870-an mulai dilakukan survai kadaster secara bertahap, diperoleh secra kira-kira, penilaian yang dapat dicapai jauh dibawah rata-rata dua perlima bagian yang diharapkan.  Suatu penyelidikan tentang luasnya pengaruh sewa tanah pada 1836 di Karesidenan Cirebon, Tegal, Pekalongan berkisar 9-27% terhadap keseluruhan nilai uang hasil bumi. Hal ini jelas dibawah standar dua perlima bagian.
            Dilaksanakan peninjauan ulang tahun 1820-an, gubernur jendral Van der Capellen menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan ini gagal setelah 1825, dengan berbagai alasan. Menurut Du Bus, jawa adalah aset yang mennguntungkan, tanah-tanah yang terlantar di jawa dijual, disewakan dengan tenaga kerjanya orang jawa dengan upah bebas. Pada 6 Maret 1829, Van den Bosch memberikan kebebasan atas tanah dan hasilnya kepada orang jawa maupun kebijakan penjualan tanah terlantar kepada orang Eropa. Inilah pernyataan pertama tentang apa yang kemudian disebut sistem penanaman hasil bumi yang cocok bagi pasar Eropa (Sistem Tanam Paksa). Van den Bosch ingin menjadikan jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat mungkin. Januari 1830, Van den Bosch mendapat mandat dari raja untuk melaksanakan sistemnya, yakni; (1) “nasihhat” 6 maret 1829; (2) laporan kepada  menteri urusan jajahan tertanggal 10 oktober 1830, surta kabinet no. 628/26, dan (3) laporan tentang dasar-dasar dan hasil awal sistem tanam paksa yang dipersiapakan Van den Bosch pada 1834 unuk penggantinya di Jawa, J.C Baud. Menurut Robert van Niel, karya Clive Day mengenai sistem itu adalah yang paling rinci. Menurut Clive Day, alih alih mengambil dua perlima hasil bumi dalam bentuk tunai semnetara pemerintah hanya mengambil seperlima dalam bentuk barang, dan bahwa satu desa yang menyisihkan seperlima tanah sawah untuk penanaman tanaman ekspor dibebaskan dari pembayaran penghasilan tanah, tetapi setiap surplus diatas penghasilan tanah yang ditetapkan dari penjualan hasil bumi dimasukan sebaagai piutang desa, akhirnya desa dianggap telah memnuhi kewajiban akan dibebaskan dari penghasilan tanah bila tanaman dagang telah dipanen.
Sedangkan karya Hall, mencakup waktu dan wilayah yang lebih luas, ulasannya jauh lebih ringkas. Kalau Colenbrader maupun Stapel sebenarnya tidak terlalu menaruh perjatian khhusus panada STP, untuk penulis Furnivall sumber informasi yang dipakai untuk menullis STP ini dari dokumen-dokumen resmi catatan negara. Menurut Furnivall bahwa Van den Bosch adalah pribadi yang berniat dan bukan raksasa jahat. Sedangkan karya Van Soest merupakan laporan STP paling komprehensif. Lain hal dengan Pierson yang menganggap Van den Bosch adalah sosok yang mempunyai maskud baik. Citra yang ingin ia sampaikan ialah sewa tanah digantikan oleh kerja dan hasil bumi dan dibebskan dari sewa tanah. Pierson pun diakui seorang penulis yang bijaksana dan moderat. Hanya satu yang salah dari tulisannya, yaitu gambarannya tidak benar. Penulis Clive Day menganggap sosok Van den Bosch merupakan penjelmaan yang jahat.banyak kesimpang siuran tentang jumlah tanah desa yang didihkan untuk ditanami mengikuti aturan Van den Bosch. Sebenarnya, sejak awal 1830-an, saat Van den Bosch tiba di Jawa, sistem ini sudah berjalan; jika sebuah desa menanam tanaman ekspor yang nilainya lebih adriapada jumlah sewa tanah terutang, desa akan menerima pembayaran kelebihan sewa tanah tersebut dari pemerintah. Namun sebaliknya, jika nilai tanaman  yang ditanam di sebagian tanah desa tidak sebanding dengan jumlah sewa tanah, desa diharuskan menutupi kekurangan dalam bentuk uang dna barang.di kabupaten-kabupaten Priangan sewa tanah tiddak diberlakukan, begitupun di distrik Madiun, Kediri, Bagelen, Banyumas. Sedangkan, di Jawa bagian timur dan Banten sewa terus dipungut dalam bentuk uang.
Menjelang tahu 1850-an, para administrator Belanda di Jawa sudah tidak tahu lagi bagaimana melaksanakan sistem itu, ada pendapat juga bahwa malpraktik dan korupsi telah memasuki sistem. Menurut Robert van Nial, tentang sosok Van den Bosch ialah sosok yang penuh gagasan, dan mengupayakan pemberatasan kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran masyarakat. Pada tahun 1834, Van den Bosch kembali ke Belanda dan diangkat sebagai Mentri urusan jajahan. Setelah seabad berlalu, STP tidak hanya dianggap sebagai sisttem ang tidak liberal, perhatian pun semakin banyak dicurahkan kepada kekejaman dan kesewenang-wenangan pelaksanaan sistem ini dilapangan. Menurut Robert van Niel,Sebenarnya Van den Bosch tidak pernah menginginkan STP berjalan demikian; iu buukan cara atau perhatian utamanya.
Bab 2 Diperkenalannya Penanaman Tebu Pemerintah di Pasuruan, 1830
Robert van Niel menulis ini pada tahun 1963-1964. Penanaman tebu yang diperkenalkan di Jawa berlangsung jauh sebelum 1830, tetapi sistem baru yang sekarang membawa perubahan tentang bagaimana tanaman dagang ini dikelola sejaak penanaman sampai penggilingan untuk ekspor. Temapat penanaman tebu yang sangat berhasil ialah di karesidenan Pasuruan, tanaman tebu sangat mempengaruhi langsung keberadaan desa jawa.
Lahan dan iklim di Pasuruan sangat cocok ditanami tebu, H.I.. Domis menjabat residen di Pasuruan sejak 1827, ia memperluas penanaman tebu pada masa Komisaris Jensral Du Bus, tahun 1931 ia ddipindahkan ke Karesidenan Surabaya. 1831 J.F.W van Nes diangkat menjadi residen Pasuruan, dia bukan orang yang berbakat di bidang penanaman tebu, tetapi dia bertekad dan memperluas wilayah penanaman serta mengatur penanaman dan pemanenan tanaman dagang ini.1839 ia mengakhiri kariernya.
Penanaman tebu dimasukan dalam STP berdasarkan resolusi gubernur jendral tanggal 13 Agustus 1830. Selama berrahun-tahun tebu ditanam oleh para penanamn jawa di Pasuruan dan dijual kepada kontarktor cina untuk didistriusikan. Petani jawa mandapat keuntungan yang besar dari hasil tanaman tebu. Di distrik Bangil, Domis melaporkan pembayaran kepada para penanam rata-rata hampir 11 gulden per pikul untuk gula hasil tebu lahan mereka, atau anatar 600-700 gulden untuk tebu yang ditanam di tanah seluas satu bau. Tahun 1830, pasuruan menjadi salah satu daerah penghasil gula paling berhasil di Jawa.
Penyelenggaran penanaman tebu di bawah peraturan pemerintah setelah 1830 dipusatkan pada perjanjian-perjanjian kontak. Kontrak pertama dibuat anatara pemerintah lokal dengan desa, kedua pemerintah lokal dengan operator (pengusaha) penggilingan gula dengan pinjaman uang pemerintah membangun pabrik, enolah tebu, dan meyerahkan gula kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan. Pemerintah yang sekarang mengklaim sebagai penguasa atas seluruh tanah. Pemerintah menjadi pemilik semua tanah di Jawa dan orang Jawa menjadi penyewa tanah yang harus membayar sewa tanah. Bupati diubah dari bnagsawan pemilki tanah menjadi pegawai yang digaji.di Psuruan tebu dikelompokan atas tiga kelompok berdasarkan perkiraan kansungan gulanya. Pemeintah melindungi petani jawa dengan memberi jaminan upah minimun : 15sen /hari untuk satu orang, 30 sen/hati untuk menarik gerobak.
Desa-desa Pasruan pada wal abad ke-19, dibandingkan dengan bagian pesisir uttara Jawa, berada dalam tahap transisi dari suatu masyarakat gotong royong menuju masyarakat berdasarkan konsep teritorial yang ditandakan oleh peraturan-peraturan pemilki tanah tetap. Menurut de Vries, dampak dari STP di Pasuruan ini menghancurkan kelas petani mandiri dengan jalan memaksakan kepemilkian tanah komunal kepada mereka. Petani di Pasuruan dibagi ke dalam tiga kelompok berdasrkan kesedian mereka memenuhi panggilan – semakin sering kerja, semakin luas tanahnya.
Perluasan penanaman tebu di Pasuruan setelah 1830 terlihat cukup besar. Domis menunjukan pada tahun 1830tanah seluas 1.089 bau ditanami tebu, 466 bau di antaranya ditambahkan pada tahun itu. Wilayah penanaman, pada tahun 1833, menurut Baud, meningkat menjadi sekitar 2.500 bau . Luas areal tanaman tebu 2.437 bau unuk Pasuruan yang tercantum dalam Laporan Penanaman pertama 1834. Pada 1851, wilayah yang ditamnami tebu betambah menjadi 2.880 bau, dan 80 bau diantaranya milik swasta (sejak 1842) yang tidak dimasukkan kedalam STP. Jumlah keluarga yang dilibakan pun konstan sampaitahun 1848 mulai dari 23.000 lalu sempat berkurang menjadi 20.000. produksi gula olahan yang dihasilkan Pasuruan meningkat dari 107.000 pikul pada tahun 1834 menjadi 204.000 pikul pada 1839, dan meningkat lagi menjadi 345.000 pikul pada tahun 1850.
Pada juli dan Agustus 1833, ribuan rakyat yang terlibat dalam penanaman tebu bergabung dalam protes terbuka menentang penanaman tebu yang sangat memberatkan.
Bab 3 Peraturan Produksi Gula di Jawa, 1830 – 1840
 Sistem Tanam paksa pada mulanya diperkenalkan di Jawa oleh Johannes Van den Bosch pada 1830. Dengan tujuan utama mendapatkan produksi komoditi yang dapat dijual di pasar dunia. Salah satunya adalah dengan  diperkenalkannya penanaman Tebu dan penggilingan gula di  sepanjang pesisir utara pulau Jawa.Penaman tebu dimulai dalam skala sangat terbatas di wilayah Cirebon – Pekalongan – Semarang, karena saat itu tidak mudah menemukan pengusaha yang berminat mendirikan pabrik gula berdasarkan kontrak pemerintah. Apabila ditemukan pengusaha yang berminat, pemerintah akan memberikan uang muka yang diperlukan bagi pembangunan pabrik, yang dapat dibayar kembali oleh pengusaha bersangkutan selama beberapa tahun dalam bentuk gula dengan harga yang telah ditentukan. Pemerintah juga menyediakan sarana berbagai penanaman tebu disekitar pabrik, termasuk penebangan dan penyerahan tebu, serta pasokan kayu bakar.Padi siap panen dinilai perkiraan kapasitas produknya dan pabrik, biasanya dalam bentuk olahan. Pengusaha pabrik bebas menggunakan  kelebihan gula yang diproduksinya, di samping jumlah gula yang diperlukannya untuk melunasi kewajiban mengembalikan uang muka pemerintah bagi pembangunan pabrik dan penilaian tebu di lahan. Operator pabrik gula di Jawa adalah orang – orang eropa dan Cina yang sebagian besar kurang memiliki keterampilan  dalam hal penggilingan gula.
Sistem tanam paksa yang diperkenalkan di Jawa oleh Johannes van den Bosch ini dilakukan ntuk mencapai tujuan ini adalah perlu membuat agar orang Jawa memproduksi dan mengolah komoditi yang dikehendaki dengan biaya serendah mungkin, berarti memberlakukan corak produksi yang sungguh terpisah dengan asas – asas pengaturan yang diatur pasar dunia.Gambaran semacam yang berlangsung adalah diperkenalkannya penanaman tebu dan penggilingan gula disepanjang pesisir utara Jawa. Tiga variasi yang digambarkan dibawah ini mudahnya dibedakan berdasarkan geografis, pola wilayah tengah Cirebon – pekalongan – semarang, pola distrik Jepara,  dan pola wilayah timur meliputi Surabaya – pasuruan – besuki.
Hal yang menarik dari pengaturan gula di Besuki adalah individualisasi pembayaran kepada para penanam.Menjelang tahun 1835 pembayaran perorangan tampak telah dilembagakan untuk mengatasi pembayaran borongan kepada desa.Hal tersebut terjadi di berbagai daerah di Jawa pada masa sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh pegawai – pegawai eropa yang berharap mendapatkan keuntungan pribadi yang lebih dalam penanaman dan juga berharap dapat ikut dan secara langsung berdasarkan hasil – hasil sistem itu.Lampiran laporan ament tentang Besukipada tahun 1835 memuat bagan sebuah desa kabupaten ini yang menunjukan metode pembayaran tersebut. Jumlah untuk pembayaran untuk 78 warga desa Dringolor pada 1835 berbeda – beda dan didasarkan luas tanah masing – masing yang ditanami tebu dan kualitas tebu yang dihasilkan.Pembayaran dikurangi sewa tanah setiap individu atas tanah sawah dan tegalan yang tidak ditanami tebu serta sewa tanah atas lahan yang ditanami tebu. Sisanya dibayarkan tunai.yang mendasari cara pembayaran itu adalah factor-faktor Sosial ekonomi tertentu seperti kepemilikan tanah pribadi yang permanen ,mungkin tidak berlaku di daerah lain, tetapi jelas implikasi sosial politik perluasan system ini  memunculkan banyak persoalan menarik mengenai dampak penanaman tebu baru dan meningkatnya campur tangan pemerintah dalam urusan desa Jawa.

Bab 4 Tolok Ukur Perubahan Sistem Tanam Paksa di Jawa 1837-1851
Sistem tanam paksa diperkenalkan di pulau Jawa pada 1830  yang diciptakan oleh Johannes van Bosch, yang sebelumnya Raja William I menugaskannya untuk menjadikan Pulau Jawa sebagai penghasil komoditas pertanian yang dapat dijual di pasar dunia.Berbeda dengan rancangan sebelumnya yang menganggap produktivitas ekonomi Jawa terkait langsung dengan usaha individual orang Jawa atau dorongan para pengusaha Eropa. Hakikat dari sistem tanam paksa rancangan Johannes van Bosch adalah penguasaan pemerintah sepenuhnya, pola kekuasaan, kewajiban, upeti, dan pelayanan tradisional Jawa serta saran-saran dan pengawasan para administrator Eropa. Recana sederhan van den Bosch adalah agar desa Jawa menyisihkan sebagian tanahnya, umumnya seperlima bagian, untuk ditanami tanaman dagang yang ditentukan oleh pemerintah. Hasil tersebut harus diserahkan kepada pemeritah dengan harga yang telah ditentukan berdasarkan perhitungan van den Bosch, yang harus cukup untuk membayar utang sewa tanah desa bersangkutan. Hasil tersebut diserahkan kepada pemeritah yang harus diperoleh secara memadai di pabrik penggiligan sehingga komoditas menjadi layar ekspor.Komoditas tersebut kemudian dibawa ke negeri Belanda dengan kapal-kapal yang disewa oleh Perusahaan Dagang Belanda (NHM).Komoditas yang tiba di negeri Belanda kemudian dilelang melalui jalur perdagangan internasional.Van den bosch juga menyinggung komitmen kerja orang Jawa yang diharapkan bisa dicurahkan untuk Sistem Tanam Paksa. Komponen tenaga kerja dari rancangan tersebut adalah bagian yang paling tidak jelas .Pada umumnya tenaga kerja ini akan digunakan dalam penanaman, pemeliharaan, dan penebangan tanaman dagang pemerintah serta dipakai dalam mempersiapkan lahan,membuka tanah baru, dan memperluas kawasan tanah irigasi.Jumlah kerja –kerja tersebut kelihatannya sama dengan pelayanan corvee tradisional. Kerja wajib merupakan masalah rumit dalam konteks jawa dulu maupun sekarang; unsure pasti dari padanan terhadap tenaga kerja Sistem Tanam Paksa merupakan salah satu aspek itu karena dia sangat peka terhadap tuduhan tentang adannya kerja wajib.
Sejak awal sistem tanam paksa sesugguhnya merupakan serangkaian peraturan-peraturan lokal yang sengaja dirancang untuk mengerakkan produksi.Pada tahun 1836 Johannes van Bosch digantikan oleh J.C. Baud sebagai sebagai gubernur jendral.Saat dibawah kepemimpian van den Bosch, ia menerapkan presentase pembayaran dan mendirikan kantor budidaya tanaman yang melibatkan para admistrator Jawa dan Eropa. Presentase pembayaran untuk para administrator tersebut dari nilai tanaman yang dihasilkan masing-masing kabupaten.Jumlah presentase di beberapa daerah bahkan bisa melebihi gaji bersih pejabat bersangkutan.Kantor itu semula dimaksudkan tidak lebih dari sekadar kantor dinas percobaan budidaya tanaman dengan J.I. van Sevenhoven sebagai direktur dengan tugas pokok menjadikan usaha budidaya pertanian bisa diterima oleh para residen dan bupati lama.Sebagian besar peasehat yang mendampinginya sering melakukan percobaan pertanian lokal secara sendiri-sendiri dan kerap bersikap tidak peduli.Kantor budidaya tanaman mulai sedikit berubah setelah tahun 1836.Sebagian perubahan merupakan akibat dari dimulainya prosedur yang lebih birokratis. Berfungsinya Sistem Tanam Paksa pada aras produsen Jawa bukan perhatian utama dari tulisan ini , tetapi tetap layak untuk diperhatikan bahwa skema Van den Bosch mencakup tujuan berjangkauan luas . Dalam praktik, terlalu sedikit perhatian atau gagasan besar yang dicurahkan pada aras lebih rendah dan kritik yang makin membesar terhadap system itu setelah pertengahan 1840 an barangkali mencerminkan dengan tepat pengaruh merugikan system ini terhadap masyarakat Jawa.

Bab 5 Kebijakan Pemerintah Sipil di Jawa Selama Masa Awal Sistem Tanam Paksa
            Para administrator sipil mulai dari gubernur jenderal sampai pejabat-pejabat yang lebih rendah seperti inspektur dan kontrolir mewarisi sebagian hak-hak berdaulat kerajaan Belanda dengan kekuasaan absolut atas tanah dan rakyat negeri jajahan. Pada setiap tingkatan, administrator dapat mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Keputusan yang telah diambil dan dijalankan bisa diperkuat ataupun ditolak oleh dekrit, pernyataan, atau maklumat. Setiap kebijakan yang ditetapkan belakangan bisa saja bertentangan atau mengubah kebijakan sebelumnya dan sebagian atau seluruh keputusan biasanya akan disahkan lewat pernyataan resmi penguasa yang lebih tinggi.
            Selama paruh pertama abad ke-19, pemerintah memberlakukan enam Peraturan Dasar Pemerintah pada 1815, 1818, 1827, 1830, 1836, dan terakhir pada 1854. Pada hakikatnya, masing-masing merupakan salinan peraturan sebelumnya disertai dengan penjelasan lebih rinci. Namun tidak satu pun yang menjelaskan apa yang sesungguhnya diupayakan waktu itu. Lembaran Negara (Staatsbladen), urutan peraturan berikutnya, juga tidak menyoroti pelaksanaan pemerintah dan tata pemerintahan sebenarnya. 
            Disamping itu, pemeriksaan cermat terhadap peraturan dan instruksi yang mengandaikan administrator sipil dapat berfungsi di berbagai tingkatan, menunjukkan adanya suatu kesamaan dan kesinambungan yang berlangsung sepanjang abad ke-19. Furnivall menunjukkan secara tepat kesinambungan antara tema dan tujuan pokok dari instruksi-instruksi yang dikeluarkan untuk para administrator Eropa pada tahun 1818, 1837, 1855, dan 1872 – instruksi pertama menjadi rujukan instruksi berikutnya, namun jauh lebih lengkap dan rinci. Tetapi disini tidak ditemukan pergeseran mencolok dalam pedoman-pedoman dasar yang diberikan kepada para pelaksana pemerintahan sipil di Eropa.
            Usaha Furnivall untuk menunjukkan bagaimana fungsi dan posisi kontrolir mengalami perubahan pada tahun 1830-an, saat penanaman paksa mulai diperkenalkan, didasarkan atas kekeliruan tafsir terhdap surat yang ditulis Menteri Urusan Jajahan J.C. Baud pada 1842. Peran Kontrolir adalah menjalin hubungan yang serasi antara rakyat dan kepala desa. Dia harus jeli mengawasi persoalan-persoalan setempat agar penghisapan dan penindasan tidak terjadi.
            Kurun waktu sampai dengan tahun 1830 menunjukkan banyak sekali perubahan dalam kebijakan pemerintah Eropa di Jawa.  Beberapa nama penting seperti Daendels, Raffles, Van der Capellen, dan Du Bus mengingatkan pada usaha-usaha pengembangan suatu strategi agar tanah jajahan bisa mendapatkan keuntungan. Namun tidak satu pun berhasil membuat Jawa menguntungkan. Sebagian besar keuntungan yang dihasilkan oleh Jawa untuk tanah air sesungguhnya berasal dari peninggalan zaman, ketika asas-asas nonliberal seperti kerja paksa, setor wajib, dan penggunaan saluran kekuasaan tradisional Jawa masih dianggap sebagai hal yang lazim. Sebelum tahun 1830 sebagian besar keuntungan yang diperoleh pemerintah berasal dari kopi hasil penanaman paksa yang tetap dilanjutkan di Priangan dan diperkenalkan secara tersamar di Cirebon.
            Seluruh tata pemerintahan Eropa di Jawa terlihat semakin liberal sampai dengan tahun 1830. Terutama setelah 1816, rekrutmen pegawai-pegawai muda yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan lebih tinggi biasanya harus melalui rekomendasi keluarga tokoh liberal, kelas menengah, dan kaum patriot di Negeri Belanda.
            Kehidupan di Jawa terasa amat menyenangkan, mereka yang duduk di puncak pemerintahan sipil, pemilik tanah swasta, dan penyewa tanah perkebunan di Tanah-tanah Kerajaan (Vorstenladen) menjalani kehdiupan sehari-hari bagaikan tuan bangsawan. Terbuka kesempatan di segala tingkatan untuk mereguk kenikmatan dan meraup keuntungan- dari menengah sampai besar. Para admninstrator sipil memperoleh kenaikan pangkat sesuai dengan hierarki kepegawaian, memasuki dinas lewat kontak-kontak pribadi serta dilengkapi surat pengangkatan dari raja.
            Pemeritah dan personil sipil menjalankan tata pemerintahan dengan gaya paternalistik, liberal, otokratis. Mereka menerapkan setiap kebijakan di wilayah admnisitratif masing-masing sejauh dipandang perlu, memungkinkan, dan menguntungkan.
            Kedatangan J.Van Den Bosch sebagai gubernur jenderal pada 1830 menandai perubahan penting dalam kebijakan mendasar tahun-tahun sebelumnya. Van den Bosch telah menyusun sebauh rancangan cukup matang yang akan diterapkannya di tanah jajahan; rencana ini mencakup penggunaan pola kekuasaan tradisional Jawa dengan cara mengendalikan kelompok elite supaya bisa diperoleh kuasa atas tanah dan tenaga kerja yang akan dipakai untuk memproduksi tanaman dagang yang dapat dijual di pasar dunia.
            Van den Bosch percaya bahwa pola kekuasaan tradisional yang digabungkan kewenangan pemerintah kolonial Belanda dapat mendorong petani Jawa untuk terlibat dalam produksi komoditas yang bisa terjual di pasar. Di luar konsep penggunaaan seperlima dari tanah dan pemanfaatan seperlima dari pengadaan tenaga kerja yang terkenal, hanya sedikit yang diuraikannya secara rinci. Tahun-tahun awal pemerintahan Van den Bosch adalah masa yang penuh dengan tantangan. Pejabat-pejabat pemerintah sipil Eropa di Jawa sulit diyakinkan dengan kemanjuran atau kebenaran rencana-rencananya. P. Merkus, salah seorang anggota Dewan Hindia, menantang gubernur jenderal ini lewat pertukaran memo yang berkepanjangan sejak 1832-1833, dan mulai tercium oleh publik melalui sejumlah buku dan selebaran.
            Pertengahan 1833 Van den Bosch mengakhiri debatnya dengan P. Merkus dengan menggunakan hak istimewa selaku komisaris jenderal yang bisa mengubah berbagai peraturan tanpa harus berkonsultasi lebih dulu. Van den Bosch memiiki kekuasaan sangat besar. Merkus menerima tugas di luar Jawa dan dipaksa keluar dari Dewan Hindia.  Van den Bosch bersikap tegas dalam mewujudkan setiap rencananya. Dia mengharapkan para residen dan pejabat Eropa bekerja sama secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Bla bekerja tidak becus, maka pemecatan akan menimpa mereka.
            Penanaman tanaman pemerintah dimulai serentak hampir di semua karesidenan, pengelolaan tanaman di sebagian daerah tampak serampangan atau tidak tepat., sementara tanah dan iklim di daerah lainnya tidak cocok bagi jenis tanaman dagang tertentu. Alhasil, hasil panen yang didapatkan jauh dari kata memuaskan bahkan penanaman tanaman dagang di beberapa daerah terpaksa ditinggalkan. Bagi para administrator Eropa yang melakukan penanaman atau pun sewenang-wenang melakukan kebijakan yang tidak tepat yang dapat  menimbulkan kerugian semcam itu, di kenakan sanksi baik sanksi berat maupun ringan. Tetapi disinipun yang ikut merasakan kerugian dari dampak kesewenangan pemerintah atau administrator tersebut justru penduduk setempatlah yang harus menanggung akibatnya dengan terus menerus bekerja tanpa mendapat imbalan
            Untuk mengawasi pelaksanaan penanaman (tanam paksa) Van den Bosch mendirikan Kantor Budidaya Tanaman yang dipimpin oleh seorang dierktur dibantu sejumlah inspektur. Pejabat-pejabat kantor ini bukan hanya memberi nasihat kepada residen tentang cara-cara melakukan percobaan budidaya tanaman dagang dan pembukaan daerah baru untuk penanaman, tetapi juga memeriksa hasilnya. Pengolahan beberapa jenis tanaman dagang tertentu khususnya tebu, dikontrakkan kepada pengusaha swasta yang menerima uang muka dari pemerintah dan setuju menjual hasil buminya kepada pemerintah. Kontrak semacam itu terbukti amat menguntungkan dan pendapatan yang diterima administrator sipil, keluarga, dan sejawat mereka bertambah besar.
            Singkatnya, apa yang diperoleh sejak awal tahun 1830-an adalah suatu perubahan agak dramatis terhadap prinsip dan kebijakan tingkat atas yang diletakkan di pundak rakyat Jawa tanpa mengubah sebagian besar peraturan dasar bagi personil yang membantu supaya sistem ini bisa berjalan. . Apa yang mungkin membuat hal ini bisa berhasil, pada titik tertentu adalah karena peraturan-peraturan setempat memperbolehkan pemerintahan internal menyesuaikannya dengan keadaan lokal dan memasukkan penanaman baru ke dalam pola-pola susunan kekuasaan tradisional kabupaten dan desa.
            Kantor Budidaya Tanaman yang dipimpin oleh seorang direktur, didirikan Van den Bosch pada 1833, adalah perangkat administratif yang diberi tugas memperkenalkan penanaman pemerintah di Jawa. B.J Elias, bekas Residen Cirebon, diangkat sebagai direktur kantor ini pada 1834. Bersama kelompok inspektur dia bertanggung jawab memeperkenalkan penanaman-penanaman baru selama dua tahun berikutnya. Dia meninggalkan Jawa kira-kira pada waktu hampir sama dengan Baud yang pulang ke Negeri Belanda dan masuk ke dalam suatu tim Kementerian Urusan Jajahan di Den Haag. W. de Vogel bekas residen Jepara, menggantikan posisi Elias sebagai Direktur Budidaya Tanaman pada 1836. Dia sangat terkenal di Jepara dengan administrasi penanaman tanaman yang serampangan, belum lagi polah para pengusaha Cina setempat yang mencuri keuntungan penanaman lokal yang jumlahnya tidak seberapa - sebagian orang menganggap hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan residen. De Vogel terpilih karena banyak menulis laporan-laporan menyenangkan.
            Laporan penanaman yang dimulai pada 1834 makin lebih teliti dan rinci setelah 1837, namun juga kian lambat diajukan. Laporan-laporan ini mengandung berbagai macam informasi pemerintah mengenai kondisi penanaman di Jawa. Karena terlambat disampaikan dua hingga tiga tahun, maka perencanaan atau proyeksi menyangkut penanaman tidak bisa lagi ditetapkan berdasarkan laporan-laporan itu. Pemerintah pusat di Bogor/Batavia atau staf kementerian di Den Haag juga tidak bisa mengambil keputusan tentang keadaan dan luas penanamaan tanaman dagang tertentu.
            Ketika kekuasaan otokratis pemerintah di Negeri Belanda disingkirkan oleh revolusi liberal pada 1848, yang menempatkan kewenangan lebih besar dalam urusan politik di tangan parlemen Belanda, pemerintah daerah di Jawa sudah tertata dengan baik dan lebih dulu membuat penyesuaian dengan kepentingan-kepentingan liberal.
            Multatuli melihat lebih jernih dibanding kebanyakan orang atau mungkin mempunyai keberanian lebih ketimbang banyak orang saat mengatakan bahwa soal “kerja bebas” yang kelihatan menonjol itu sama sekali bukan persoalan sesungguhnya, melainkan langkah terselubung penguasaan ekonomi oleh berbagai kelompok yang bercokol dalam struktur kekuasaan. 
            Kembali ke tahun 1836 sampai 1848 penulis buku, menjelaskan periode ini dengan serangkaian contoh bagaimana sikap dan semangat pemerintah masa ini berbeda dengan sikap dan semangat pemerintah pada awal tahun 1830-an.
            Bidang kritis di mana kepentingan penanaman tanaman swasta dan kepentingan penanaman tanaman pemerintah saling berhadapan dalam soal penyerahan tanah sewa, baik penyewaan maupun penjualan tanah yang belum ditanami (woeste gronden) di Jawa kepada pengusaha swasta non-pribumi. Du Bus berusaha memasukkan penyewaan atau penjualan tanah-tanah tersebut sebagai landasan dari rencana kolonisasinya. Namun van den Bosch mengecilkan peran para pengusaha swasta, kendati pasal 109 RR 1830 yang diamandemen menjadi pasal 94 RR 1836 menyebutkan kemungkinan penyerahan tanah-tanah tersebut kepada pihak swasta.
            Van den Bosch memohon kepada raja supaya membatasi penyerahan tanah dengan memberikan kuasa untuk menentukan masalah ini kepada pemerintah Hindia dan menegaskan bahwa penyerahan tanah harus dikaitkan dengan penanaman tanaman dagang yang penting. Sikap pemerintah yang terangkum dalam Resolusi No.9 tertanggal 31 Desember 1835 menegaskan bahwa tidak diperlukan persyaratan tertentu bagi penyerahan (penjualan) tanah kepada pihak swasta, tetapi setiap kasus akan dipertimbangkan secara tersendiri supaya bisa ditentukan jenis tanaman penting yang akan ditanam dan juga demi kepentingan serta hak-hak penduduk setempat yang mungkin terkena dampaknya.
            Ketika masih di Jawa dan bahkan ketika sudah berada di Den Haag, Baud dan Elias tidak menyetujui pertimbangan sepenuhnya diserahkan kepada desa atas semua tanah sekitar desa. Mereka begitu yakin bahwa tidak ada sebidang tanah pun yang belum ditanami yang terletak di wilayah permukiman penduduk. Oleh karena itu, mustahil bagi pengusaha swasta membeli tanah di Jawa waktui itu kecuali tanah yang terletak jauh dari permukiman penduduk. Pemerintah sendiri tidak ingin penduduk desa mengalir keluar dari tanah-tanah pemerintah untuk mengisi lahan-lahan agak terpencil itu, karena mereka dianggap sangat penting dan amat diperlukan bagi penanaman tanaman secara pemerintah.
            Pada 1836, salah seorang yang sangat aktif membujuk gubernur jenderal adalah de Vogel, Direktur Budidaya Tanaman, bersikukuh mengedepankan kepentingan swasta. Motivasi ini setidak-tidaknya didasarkan pada keyakinan mereka bahwa perusahaan swasta dapat memproduksi dan mengelola tanaman dagang lebih banyak dan lebih efisien, namun di balik itu terkandung kepentingan pribadi meraup keuntungan bagi diri sendiri atau untuk sahabat dekat.
            Tidak jelas berapa banyak informasi yang diketahui Den Haag hingga awal 1839, karena baru dengan maklumat umum tertanggal 25 Desember ( N.I Stbl. No.50) perubahan sikap terhadap penyerahan tanah yang belum ditanami mulai diketahui secara terbuka. Baud dan Elias memeberi tanggapan sangat negatif serta berusaha meyakinkan Menteri Van den Bosch bahwa peraturan baru tersebut merupakan ancaman serius terhadap kendali pemerintah atas penanaman tanaman dagang di Jawa dan terhadap keuntungan yang akan diterima di tanah air.
            Argumen mereka diperkuat oleh kasus di lapangan, di mana beberapa permohonan penyerahan tanah sebelumnya ternyata dimanfaatkan oleh perkebunan kopi swasta di daerah Salatiga. Karena kopi merupakan salah satu sumber pendapatan besar bagi pemerintah dan karena para penanam kopi swasta masa lalu ditengarai sering membeli kopi pemerintah secara tidak sah.
            Gubernur jenderal diminta menghentikan semua penyerahan tanah sampai Raja memberikan persetujuan. Dengan kondisi komunikasi masa itu, diperlukan waktu hampir tiga tahun sebelum persetujuan atau penolakan datang. Keputusan akhir adalah tanah tidak boleh diserahkan atau dijual kepada pihak swasta untuk ditanami tebu, nila atau kopi karena ini merupakan hasil bumi andalan pemerintah. Pada waktu nyaris bersamaan, Baud yang kini menjabat Menteri Urusan Jajahan, meegaskan pekerja asing tidak boleh didatangkan ke Jawa untuk bekerja di tanah yang belum ditanami.
            Perubahan sikap administrator Eropa terhadap administrator Jawa juga mulai terlihat setelah 1836. Pada 1839, de Erens memutuskan untuk mengurangi jumlah bupati di salah satu karesidanan, seperti di Madiun. Van den Bosch melihat tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kekuasaan dan kedudukan bupati Jawa – posisi yang diperkuatnya secara hati-hati setelah tahun 1830.
            Contoh diatas merupakan gambaran pengikisan bertahap kedudukan administrator Jawa dalam berhadapan dengan administrator Eropa. Konsep dari kebijakan-kebijakan ini perlahan-lahan kembali ke posisi awal tahun 1820-an, ketika para bupati masih sering diperlakukan rendah.

Bab 6 Komponen Tenaga Kerja Sistem Tanam Paksa di Jawa 1830-1855
Pada umumnya diakui bahwa Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan di Jawa pada 1830 membawa tekanan baru yang luar biasa terhadap masyarakat Jawa. Namun, seberapa besar sifat dari tekanan ini belum pernah dianalisa dan ditelaah cukup mendalam. Orang-orang yang bekerja di dalam Sistem Tanam Paksa cenderung menulis sedikit seluk-beluk kebutuhan akan tenaga kerja di bidang penanaman pemerintah. Sementara mereka yang berada di luar lebih menekankan beban yang ditimpakan oleh sistem itu dan pada umumnya hanya membatasi akses ke informasi terinci serta cenderung memusatkan perhatian pada pembaruan sistemik yang tidak menyentuh inti persoalan kerja.
            Ketika J. Van den Bosch mengajukan rencana menjadikan Jawa menguntungkan dengan mengekspor hasil bumi yang laku terjual di pasar dunia pada 1829., dia hanya berbicara hal-hal umum tentang bagaimana produk ini ditanam, dipanen, diolah, dan disetor. Van den Bosch mengajukan konsep mengenai penggunaan seperlima dari tanah desa untuk ditanami tanaman dagang yang dapat diekspor. Seperlima dari tanah desa ini, serta seperlima dari waktu kerja penduduk desa dicurahkan pada tanah itu, harus menghasilkan tanaman dagang yang telah ditentukan.
            Sistem Tanam Paksa dengan cara-cara seperti itu, dipercaya akan meningkatkan kemakmuran petani Jawa sekaligus menyediakan tanaman dagang ekspor yang akan menyibukkan kapal-kapal niaga Belanda serta memberikan keuntungan bagi pemerintah Belanda. Kopi, gula, dan nila merupakan komoditas unggulan yang ditanam, diolah, dan diekspor di bawah sistem itu. Tidak ada sesuatu yang baru bagi Jawa dengan diberlakukannya Sistem Tanam Paksa pada 1830, tetapi pengaturan corak produksi dan imbalan yang diberikan memang sama sekali baru. Dari hasil bumi yang ditanam di tanah itu, desa akan memperoleh cukup uang untuk membayar sewa tanah, menutup kekurangannya, atau memperoleh kelebihannya.
            Mereka menanam, merawat, menebang, mengangkut, dan mengolah tanaman dagang pemerintah. Membujuk tenaga kerja suapaya mau melaksanakan tugas adalah aspek yang sangat penting dalam keberhasilan Sistem itu. Kebutuhan akan tenaga kerja dari Sistem Tanam Paksa dibebankan kepada desa lewat perantara elite supradesa. Kelompok elite ini, jenjang hierarki kekuasaan yang umumnya berpuncak pada seorang bupati Jawa, yang sangat dijunjung tinggi oleh petani Jawa.
            Sistem tanam Paksa mengistimewakan kaum elite dengan memberikan kepada mereka status turun-temurun lengkap dengan satuan pengawal pribadi. Kopi, tempat keluarga tana Jawa mencurahkan sebagian besar waktu dan kerjanya, tidak ditanam di tanah-tanah desa melainkan di kebun-kebun dataran tinggi yang baru dibuka, di hutan-hutan atau sebagai tanaman pekarangan. Kopi adalah satu-satunya tanaman dagang pemerintah yang ditanam di Kedu dan hampir setiap orangditugaskan dalam penanaman ini, tetapi tidak mengambil tanah-tanah desa.
            Tanaman andalan pemerintah yang ditanam di Jepara, Surabaya, dan Pasuruan adalah tebu, sedangkan kopi dinilai kurang penting. Tanah yang cocok untuk ditanami tebu sering hanya digunakan dalam jangka pendek dan dgilir satu sampai dua tahun, tenaga pengggarap diambil dari lingkungan sekitar tetapi tidak selalu berasal dari desa yang sama.
            Karena Van den Bosch tidak bermaksud mengubah pola tradisional kehidupan desa, maka dia berpikir jalan terbaik yang bisa diambil adalah menjalin hubungan kerja sama dengan para penguasa Jawa tingkat kepala desa. Kepemilikan tanah desa kadang-kadang digilir dalam siklus dua sampai tiga tahun untuk meningkatkan pengumpulan tenaga kerja atau warga desa didesak oleh penguasa lebih tinggi supaya menerima bagian tanah yang tidak sesuai dengan keinginan mereka sendiri untuk bisa dikerahkan dalam corvee. Laporan itu sama sekali tidak membicarakan wajib kerja bagi mereka yang tidak memiliki tanah atau bagi pemilik tanah dengan luas tanah yang semakin kecil, bagaimanapun juga maksud pokok dari Laporan ini adalah menguak hak-hak pemilikan tanah, bukan pelayanan kerja. Eindresume (laporan hasil akhir) memperlihatkan bahwa tekanan Sistem Tanam Paksa yang menyebabkan kewajiban kerja amat berat ini merusak pengaturan internal desa
            Salah satu gejala yang tampak mencolok pada pertengahan abad ke-19 diterimanya Sistem Tanam Paksa oleh sebagian besar orang Jawa. Seandainya mereka tidak menerima Sistem ini secara sukarela atau senang hati, maka mereka tidak akan mengajukan protes sebanyak atau segigih yang dilakukan pada periode belakangan. Umumnya hanya ada sedikit protes disertai tindak kekerasan yang berkaitan dengan Sistem Tanam Paksa pada periode 1830 sampai 1850-an.
            Gerakan-gerakan protes yang menonjol masa ini justru berlangsung di luar daerah-daerah yang menerapkan Sistem Tanam Paksa. Sistem ini diterima karena berbagai alasan. Beberapa diantanya, seperti demoralisasi yang melanda sebagian besar orang di Jawa usai Perang Jawa (1825-1830). Van den Bsoch secara sadar mempertahankan pola-pola kekuasaan tradisional dan memperkuat kedudukan mereka. Demikian pula dengan hadiah berupa imbalan uang yang ditawarkan kepada desa yang dianggap berhasil menjalankan Sistem Tanam Paksa.
            Kaum tani Jawa tidak membedakan antara kerja tanam yang dipaksakan oleh Sistem Tanam Paksa terhadap desa dengan kerja corvee. Pemerintah memasukkan kerja tanam ke dalam pengaturan yang dibayar berdasarkan perjanjian kontrak. Penduduk desa kemudian meminta dan pemerintah (khususnya administrator Eropa) mulai mengusulkan pembayaran langsung kepada individu yang terlibat dalam pelayanan kerja Sistem Tanam Paksa. Bagi para administrator lapangan, pembayaran langsung untuk pelayanan tanam tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk menjaga pemerataan dalam beban kerja berat yang dikenakan kepada kaum tani Jawa. Tetapi, pembayaran kadang-kadang tidak diberikan sama sekali dan terus-menerus dimanipulasi oleh kelompok elite Jawa atau kepala desa.  Pembayaran hanya berlaku untuk pelayanan tanam, bukan untuk corvee atau jaga desa.
            Dalam penanaman kopi misalnya, peraturan setelah tahun 1832 meneybutkan bahwa pembayaran akan diberikan langsung kepada individu atau orang yang mewakilinya begitu kopi disetorkan ke gudang setempat. Pembayaran yang dibakukan di seluruh Jawa ini, kecuali Karesidenan Priangan, sebesar 25 guledn per pikul dikurangi 10 gulden untuk sewa tanah pada lahan kopi yang ditanamai petani dan 3 gulden untuk melunasi biaya transportasi dari gudang setempat ke gudang pusat. Dengan demikian petani menerima tunai 12 gulden untuk setiap pikul kopi. Imbalan yang diterima kaum tani ini mungkin terlihat kecil, tetapi jauh lebih besar ketimbang masa sebelumnya ketika para perantara lokal banyak yang mengambil keuntungan di atas pengorbanan mereka.
            Di daerah-daerah gula, pembayaran untuk tebu yang ditaksir di ladang diberikan langsung kepada para penanam yang benar-benar merawat dan memanen tebu. Tingkat pembayaran berbeda-beda menurut tempat, tetapi pada umumnya berkisar 3.5 gulden per pikul gula.

Bab7 Dampak Budidaya Tanaman Dagang Ekspor di Jawa Abad ke-19
            Pada tahun 1913 Count van Hogendorp menyunting surat dan tulisan-tulisan Willem, leluhurnya yang bertugas di Jawa sebagai salah seorang sekretaris Komisaris Jendral Du Bus sejak 1825 sampai 1829, serta mengkarakterisasi Jawa awal abad ke-19 sebagai suatu zaman “sistem-sistem”, karena semua “sistem” yang berkaitan dengan Jawa pada abad ke-19 intinya adalah mendorong komoditas ekspor yang berasal dari proses olah pertanian. Sistem itu dirancang oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi, baik di Eropa maupun di Jawa, berdasarkan apa yang mereka lihat atau dengar tentang Jawa. Tujuan dari setiap sistem tidak lain adalah untuk membuat Pulau Jawa menguntungkan bagi “pemilik”-nya orang Eropa. Teori kolonial masa itu menganggap bahwa orang Eropa memperoleh hak kedaulatan atas tanah dan rakyat jajahan melalui perjanjian dan penaklukan serta memanfaatkannya sesuai dengan keputusan yang dinilai terbaik. Pengambilan dituangkan dalam suatu “sistem” yang diharap bisa memberikan keuntungan, baik untuk si pemilik maupun mereka yang dikuasai. “Sistem” tersebut adalah penegasan kebijakan Eropa yang mengambil makna pentingnya menurut kenyataan yang ada ketimbang berdasarkan wawasan mendalam mengenai kondisi sesungguhnya di Jawa.
             Jawa sejak lama menjadi sumber komoditas tanaman ekspor yang mampu menembus pasar dunia. Pada awal abad ke-19, komoditas yang dianggap paling laku adalah kopi dan lada, meskipun nila (indigo), kapas, gula, dan beras juga tampak mempunyai potensi ekspor. Semua hasil bumi melibatkan penggunaan tanah dan tenaga kerja Jawa; semua tersangkut dalam siklus pertanian yang berakhir pada pemanenan, pengolahan, dan penyetoran produk. Kerja dalam proses produksi dilaksanakan oleh sebagian besar petani Jawa – “Jawa” dalam pengertian tempat tinggal, bukan dalam artian etnografi.  Jauh sebelum orang Eropa mencampuri urusan rumah tangga pulau ini, kaum tani Jawa telah mempergunakan waktu dan tenaganya menggarap tanah agar menghasilkan surplus pertanian, baik untuk digunakan sendiri maupun untuk diekspor. Di Jawa desa yang diidealkan menguasai seluruh tanah dan mengatur cara pembagiannya di kalangan penduduk desa. Hanya warga desa yang berhak memanfaatkan tanah; penggunaan tanah dianggap sebagai suatu hak istimewa. Beberapa desa sudah lama mengenal hak-hak kepemilikan tanah individu. Para pengamat dari Eropa sepanjang abad ke-19 umumnya perlu diyakinkan bahwa hak-hak kepemilikan tanah individu tersebut merupakan bagian dari pola primordial. Namun kebanyakan desa di Jawa bagian tengah dan timur tampaknya masih mempunyai hak kepemilikan tanah komunal yang permanen, atau tanah yang dipakai oleh anggota masyarakat desa secara bergilir. Tidak semua warga suatu desa memiliki bagian tanah yang sama. Keluarga-keluarga yang dianggap terpandang menguasai bidang tanah lebih luas dan mempunyai hak mengatur urusan-urusan desa; bebrpaa keluarga hanya berhak atas satu rumah dengan pekarangan disekelilingnya, sedangkan keluarga lain tinggal di tanah orang lain dengan kehidupan nyaris tergantung sepenuhnya pada si pemilik tanah. Tingkatan status yang terkait dengan hak-hak kepemilikan tanah tersebut dikunci oleh hubungan patron-klien yang menyebar ke segenap masyarakat desa. Pengaturan kerja di desa tampak amat beragam dan rumit, tetapi bisa diatur sendiri oleh desa. Mereka yang memiliki tanah biasanya yang akan menggarap tanah, tetapi para perangkat dan warga desa yang berkedudukan lebih baik dapat menyuruh orang lain mengerjakan tanah itu berdasarkan perjanjian bagi hasil atau sewa. Selain mengatur kerja semacam itu desa juga mengatur tugas-tugas pelayanan lainnya. Kerja ini terbagi atas pelayanan untuk desa dan rodi (corvee). Tugas merawat jalan-jalan dan jembatan, membersihkan dan memperbaiki parit irigasi, serta jaga desa ditanggung bersama oleh semua anggota masyarakat desa. Warga desa wajib melaksanakan corvee untuk pejabat-pejabat supradesa.
             Kembali pada sistem yang dirancang oleh orang Eropa, kita mulai dengan Letnan Gubernur T.S. Raffles (1811-1815) dari Inggris dengan Sistem Sewa Tanah nya pengaruhnya terhadap budidaya tanaman dagang ekspor. Bukti lebih meyakinkan adalah catatan sezaman para pengamat dan laporan pemerintah yang menggambarkan secara agak rinci keseluruhan masalah: kaum tani Jawa dan masyarakat desa tidak bebas beralih ke budidaya tanaman komoditas ekspor; penanaman (terutama tanah-tanah yang ditanami kopi) yang dikembalikan kepada pribumi semasa pemerintahan Inggris dibiarkan terbengkalai; dan para pengusaha yang menanami tanah sewa tidak bisa memperoleh tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melanjutkan usaha karena kurangnya kepastian kontrak. Kegagalan disektor ekspor semakin mencolok dengan membengkaknya anggaran pengeluaran pemerintah untuk membangun prasarana dan kegiatan pasifikasi. Disini jelas ada suatu kasus krisis menyangkut penyerahan tanah dan pengerahan tenaga kerja pribumi untuk penanaman tanaman dagang ekspor. D satu sisi, pendukung sistem sewa tanah mengharapkan kebebasan mengolah tanah demi kepentingan perekonomian pasar bebas dan kewajiban membayar sewa tanah dalam bentuk uang disisi lain, serta mendesak kaum tani Jawa agar meningkatkan produktivitas demi kepentingan mereka sendiri. Pengaruh budidaya tanaman dagang ekspor seperti gula dari tebu misalnya, sangat jelas produksi gula sejak zaman kompeni terutama dipusatkan di kawasan sekitar Batavia yang bisa bertahan berkat subsidi harga pemerintah. Namun sitem sewa tanah membuat persediaan tenaga kerja semacam itu menjadi semakin langka atau terlalu mahal, sehingga kebanyakan pabrik dan ladang tebu terpaksa ditinggalkan dan ditelantarkan. Nasib kopi, komoditas ekspor Jawa yang paling menguntungkan, juga sama. Produksi kopi di kawasan pesisir utara yang merosot drastis mendorong pemerintah untuk mengambil beberapa langkah memperkenalkan kembali penanaman dan pemanenan kopi secara paksa oleh warga desa atas nama pemerintah setelah tahun 1822.
            Rancangan baru diajukan oleh van den Bosch, rancangan secara tidak resmi ini dinamakan Sistem Tanam Paksa (Kultuurstelsel). Sekarang mari kita periksa bagaimana Sistem Tanam Paksa dijalankan. Untuk memperoleh tanaman dagang yang bisa diekspor dan laku terjual, Sistem Tanam Paksa mewajibkan masyarakat desa Jawa menanam sebagian dari tanah mereka dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah. Pada tahun 1840-an, ekses-ekses tertentu dari Sistem Tanam Paksa mulai terkuak dengan jelas. Terlalu banyak waktu dicurahkan untuk penanaman pemerintah, acapkali dihabiskan di bidang budidaya tanaman tidak menguntungkan – nila paling buruk – sehingga menelantarkan tanaman padi yang apabila dibarengi dengan gagal panen selama satu atau dua tahun akan menimbulkan bencana kelaparan, munculnya wabah penyakit, dan perpindahan penduduk ke daerah-daerah lain. Tanah-tanah baru yang dibuka semasa Sistem Tanam Paksa juga mulai ditanami. Pembersihan semak-belukar dan pembukaan tanah hutan untuk kebun kopi adalah cara paling biasa dipakai agar proses tanam bisa segera dimulai. Kebun-kebun kopi yang sudah tua akan ditebang dan dibersihkan serta dijadikan areal tanaman padi; mula-mula sebagai sawah tadah hujan yang kemudian berganti menjadi sawah irigasi. Desa-desa baru akan tumbuh atau kawasan permukiman sederhana akan terus bermunculan. Sebagian besar bagian dari Pulau Jawa telah dijadikan tanah pertanian, dan penduduk yang tersebar di daerah-daerah baru ini biasanya berhimpun kembali di dalam satu atau beberapa desa. 
            Seluk-beluk mengenai Sistem Tanam Paksa dari sisi perekonomian ekspor yang dikendalikan oleh orang Eropa dapat lebih dimengerti ketimbang pelaksanaanya di Jawa. Sektor swasta di Jawa juga berkembang lebih baik ketimbang di bawah sistem sebelumnya, walaupun pangsa pasar pada umumnya lebih kecil dari sektor pemerintah. Pada tahun 1840, misalnya, pedaganng-pedagang swasta di Jawa menguasai sekitar 10 % ekspor kopi, 25 % ekspor gula , 60 % ekspor timah, 90 % ekspor lada, dan 100 % ekspor beras serta tembakau. Ekspor nila, pala, san kayu manis sepenuhnya dipegang oleh NHM (Maskapai Dagang Belanda). Selama tiga puluh tahun berikutnya, masa-masa senja Sistem Tanam Paksa, persentase ini mengalami perubahan mencolok untuk keuntungan sektor swasta, tetapi arti penting dari hasil bumi ini secara keseluruhan telah merosot. Perdagangan antarpulau yang kian meningkat dalam arti ukuran dan pentingnya di bidang ekspor sepenuhnya berada ditangan swasta. Singkat kata, tak ada keraguan bahwa sektor perniagaan swasta mengalami peningkatan dalam pangsa pasar ekspor selama kurun waktu Sistem Tanam Paksa. Menjelang tahun 1840-an, keberhasilan dalam perjanjian kontrak gula mendorong pemerintah menghentikan pemberian uang muka dan dengan demikian membuka peluang bagi modal swasta untuk memainkan peran lebih besar. Sejak semula, penanaman tanaman dagang seperti tembakau dan cochineal (bahan zat pewarna) telah dikembangkan oleh modal swasta.
            Penggunaan tenaga kerja “bebas” atau kerja upahan merupakan isu penting pada tahun-tahun 1850-an dan 1860-an. Para pengusaha Eropa yang bekerja di bidang penanaman ekspor di jawa mulai memuji efisiensi biaya tenaga kerja bebas dibanding tenaga kerja paksa yang disediakan oleh pemerintah (yang juga harus membayar mereka). bila dihadapkan dengan penanaman tanaman dalam konteks desa, amak akan terlihat semakin banyak orang Jawa memilih kerja upahan dalam sektor penanaman tanaman ekspor sebagai sarana mata pencaharian.
            Periode 1870-1900 dari sudut pandang perekonomian kolonial dan sektor kapitalis swasta menunjukkan pertumbuhan produksi, perluasan areal tanam, dan peningkatan ekspor. Namun kurun waktu itu tidak sepenuhnya cerah dan menggembirakan. Paruh waktu pertama periode (1870-1885) merupakan zaman gemilang bagi para pengusaha swasta. Harga-harga hasil bumi tropis terlanda depresi dunia sehingga memaksa sebagian besar di antara mereka menutup usaha ini pada tahun 1880-an. Paruh kedua  periode (1885-1900) menyaksikan dominasi bank-bank perkebunan dan manajemen korporasi yang semakin menguat dalam dunia perekonomian. Pada waktu berlangsung perluasan penanaman tanaman dagang untuk ekspor ke wilayah-wilayah di luar Jawa, khusunya Sumatera, dan ekspor komoditas nonpertanian juga semakin menjadi penting. Jumlah penduduk Jawa bertambah menjadi sekitar 28 juta orang menjelang akhir abad ke-19 –dengan mempertahankan tingkat kemakmuran tetap konstan jelas akan membutuhkan kenaikan barang dan jasa yang cukup besar. Sebab-sebab stagnasi dan penurunan tingkat kemakmuran penduduk pribumi pada akhir abad ke-19 ini juga sulit ditemukan. Tidak begitu jelas apakah penanaman tanaman dagang ekspor dapat sepenuhnya dipersalahkan, walaupun ini pasti merupakan salah satu titik temu mencolok di antara perekonomian kolonial dan perekonomian pribumi yang agak mudah dipilih untuk dijadikan sasaran kecaman.
            Kecenderungan tertentu tampak terus berlanjut sepanjang abad ke-19. Ekonomi uang semakin mendominasi struktur perekonomian Jawa, menempatkan orang Jawa yang kurang perhitungan pada posisi kurang menguntungkan dibanding orang-orang Eropa dan Cina yang lebih jeli membaca pasar. Belitan utang yang semakin mencekik dan nyaris tidak bisa dilunasi sering mendorong orang Jawa untuk menerima aturan-aturan  perjanjian yang kurang mereka sukai. Kepala desa dan para pemuka desa makin berpengaruh dalam struktur ekonomi pribumi, tetapi, sebagaimana halnya para penguasa supradesa, mereka tidak menyesuaikan diri ke dalam pola perekonomian kolonial malah sebaliknya memperluas kekuasaanya atas perekonomian setempat. Apapun  kesempatan yang mungkin terbuka untuk melibatkan orang Jawa lebih jauh ke dalam sektor ekonomi yang dipusatkan pada produksi tanaman dagang ekspor pada tahun 1820-an dan awal tahun 1830-1n, kenyataan yang ada menunjukan bahwa ini tidak dimanfaatkan sebelumnya. Peluang berlalu begitu saja, karena produksi untuk pasar telah beralih ke tangan orang-orang Eropa dan Cina yang mengembangkan basis modalnya dari produksi ini dan dari tuntutan kerja yang dikenakan pada masyarakat Jawa yang berekonomi lemah dan tidak mempunyai tempat berlindung.
Bab 8 Hak Atas Tanah di Jawa
            Perdebatan tentang hak-hak atas tanah di Jawa yang berjalan sekitar satu setengah abad telah mengungkap sejumlah pendekatan dan pendapat berbeda-beda, pandangan yang belakangan sering ditentukan oleh pandangan sebelumnya. Jawa disini mengacu pada provinsi Jawa Tengah dan provinsi Jawa Timur sekarang yang secara harfiah tanah orang-orang Jawa. Pada akhir abad ke-18, kawasan itu diatur dengan dua corak berbeda. Wilayah pesisir pantai utara di sebelah timur Cirebon diperintah oleh persekutuan Dagang Hindia Timur (VOC) berdasarkan serangkaian perjanjian yang disusun bersama penguasa-penguasa kerajaan Mataram yang dulu pernah menguasai seluruh Jawa. Sebagai imbalan atas bantuan VOC dalam mempertahankan tahtanya, sultan-sultan Mataram menyerahkan sebagian kedaulatan di wilayah pantai utara kepada VOC. Namun pada tahun 1755, ketika VOC tidak bisa lagi menindas semua pewaris tahta Mataram, persekutuan dagang ini terpaksa mengakui keberadaan dua, kemudian tiga, dan akhirnya empat orang pangeran sebagai penguasa otonom. Apa yang tersisa dari kerajaan Mataram kemudian dikenal pada akhir penghujung abad ke- 18 sebagai Tanah-tanah Kerajaan (Vorstenlanden) atau Tanah Tinggi (Bovenlanden). Wilayah pantai utara yang diperoleh VOC dari Mataram dieknal sebagai pesisir Timur Laut Jawa (Java’s Noordoost Kust) atau lazim disebut Jawa saja. Jawa sanagat berbeda dibanding benteng utama kekuasaan VOC, yaitu Batavia, tanah-tanah yang mengelilinginya dan Priangan semua ini terletak di Jawa Barat.
            Inti dari perdebatan tentang hak-hak atas tanah Jawa yang berkembang selama beberapa waktu adalah apakah kepemilikan tanah terletak pada Penguasa (Negara), atau pada sekelompok pemilik yang memungut pajak dan mengatur penggunaan tanah, atau pada suatu bdan korporasi seperti dusun atau desa, ataukah petani perorangan. Di samping itu ada isu-isu lain seperti apakah kepemilikan tanah terkait dengan rodi (corvee) atau tidak. Semua merupaka isu yang menarik dan banyak yang bisa dibeberkan, tapi bahasan pokok tulisan ini hanya pada isu tentang hak atas tanah, yaitu siapa yang memmpunyai hak apa, bagaiman penjelasannya, bagaiman kekuasaan dilaksanakan, dan bagaimana praktik dilapangan. Dengan kurun waktu 1790-1816 kita bisa memulai penyelidikan hak-hak atas tanah di Jawa, yang ketika itu dianggap merupakan kebutuhan mendesak orang Eropa. VOC menganggap diri telah memperoleh hak kedaulatan sepenuhnya dari penguasa Mataram atas sebagian kawasan yang dikenal sebagai Pesisir Timur Laut Jawa. Kompeni sekarang memegang pemilikan tunggal sama seperti  penguasa-penguasa Mataram, dan mulai menarik sumber-sumber daya dari tanah yang dimilikinya dengan cara serupa penguasa Mataram yang mendapatkan penghasilan dari tanah dan rakyat mereka. orang Eropa umumnya menyebut sistem Jawa ini sebagai “feodal” istilah yang lazim digunakan sejak abad ke-18 hingga sekarang dan mulai memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri. VOC bukanlah suatu organisasi yang membawa tugas pembaruan; urusan usaha persekutuan dagang ini adalah mencari dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sumber penghasilan utama para penguasa Mataram dan pengikutnya berasal dari tanah-tanah yang ditanami. Pendek kata, penguasa sebagai pemilik dari semua tanah berhak mengambil seluruh hasil bumi yang ditanam sekaligus orang yang bekerja di tanah ini. Sedangkan VOC yang mengatur wilayah Pesisir Timur Laut Jawa dari dua pusat pemerintahan, Semarang dan Surab aya, serta membuat perjanjian kontrak penyerahan hasil bumi dan tenaga kerja dengan para bupati . kontrak semacam itu merupakan pungutan  usaha tani bagi setiap kabupaten. Beberapa hasil bumi diserahkan kepada VOC tanpa memperoleh imbalan apapun layaknya pajak atau upeti yang disebut kontingen, sebagian lagi disetor dengan nilai tertentu di bawah harga pasar yang disebut serah-paksa (verpligte leverancien). Orang Eropa hampir di sepanjang abad ke-19 tidak begitu menghormati elite Jawa dan memandang mereka sebagai benalu, kejam, pemadat, dan lalim. Namun penilaian itu tidak meyurutkan langkah mereka untuk memanfaatkan elite Jawa dalam meraih keuntungan sebanyak mungkin dengan mengorbankan rakyat kebanyakan.  Pegawai-pegawai VOC, khususnya yang berada di tingkat atas semakin berminat memperluas basis perekonomian kawasan  Pesisir Timur-Laut Jawa sekitar tahun 1790. Salah satu contohnya adalah gagasan yang tampak paling ekspansionis berasal dari P.G. van Overstraten, Gubernur Pesisir Timur-Laut Jawa (1792-1796) yang kemudian menjabat gubernur jendral (1796-1801). Laporan yang disusun untuk penggantinya pada tahun 1796 sarat dengan berbagai gagasan mengenai bagaimana memperkenalkan penanaman nila, kopi, dan tebu. Semangat ekspansionis ini jelas membutuhkan banyak informasi mendasar tentang bagaimana hubungan di Jawa sesungguhnya berfungsi: tanah hanya merupakan salah satu aspek yang diselidiki, tetapi justru inilah yang menjadi pusat perhatian kita disini. Metode untuk mendapatkan informasi adalah lewat daftar pertanyaan, corak yang biasa dipakai sepanjang periode sampai dengan tahun 1816, ketika berbagai laporan penyelidikan pertanyaan mengenai “Sistem” yang disusun berdasarkan konsep teori-teori sosial-ekonomi sudah menjadi suatu kelaziman. Semua laporan itu bersikeras mengakui bahwa raja adalah pemilik semua tanah. Para pejabat dan pemegang cacah dipandang sebagai pemilik sementara yang bebas mengatur apa saja yang diinginkan (termasuk menyewakannya kepada pihak ketiga), tetapi tanah bukanlah milik mereka yang dapat dijual begitu saja. Kaum tani, penggarap lahan yang sesungguhnya, mempunyai hak untuk menggunakan tanah. Dia berhak memperoleh sebagian dari hasil produk kerjanya setelah membayar pajak dan menyerahkan tenaga. Di beberapa daerah, dia menerima imbalan atas usaha perbaikan yang dilakukannya apabila tanah dialihkan kepada orang lain, tetapi hal ini bukan sama sekali penjualan tanah. Pemilik cacah dan warga desa inti sesungguhnya yang memegang hak penguasaan, bukan pemilikan, sebagian besar tanah garapan yang dikerjakan untuk mereka  oleh para klien yang hak-haknya hampir tidak ada.  Penguasaan tanah atau penguasaan atas sebidang tanah, biasanya disertai dengan kewajiban melaksanakan corvee untuk penguasa yang lebih tinggi. Di luar keharusan menyetor hasil bumi dan tenaga kerja, para pemegang maupun bukan pemegang tanah menjadi sasaran wajib pajak dan pungutan yang terbilang banyaknya.
            VOC mempunyai banyak alasan untuk menggangap diri sebagai pemilik tanah jawa. Setelah memperoleh hak-hak berdaulat dari para penguasa Mataram, sedikit alasan bagi kompeni untuk tidak memanfaatkan tanah sesuai dengan kepentingan sendiri yang dianggapnya terbaik. Penggunaan tanah pada pokoknya berjalan dua arah. Pertama VOC mendorong untuk  mengadakan  perjanjian-perjanjian menanam tanaman dagang ekspor seperti kopi, tebu, nila, lada, serta kapas, dan jika perlu menyewakan seluruh desa  kepada pihak-pihak yang dipandang dapat meningkatkan hasil komoditas ini. Langkah pembuka VOC berikutnya adalah menjual tanah-tanah langsung kepada pihak swasta.
            Letnan Gubernur T.S. Rafless mewakili pemerintah Inggris ketika mengambil alih kekuasaan atas Jawa pada tahun 1811. Dia memandang hak-hak atas tanah Jawa dengan sudut pandang  sama sekali berbeda. Raffles banyak dipengaruhi oleh tata-cara penyelesaian tanah di India semasa pemerintahan Lord Cornwallis. Raffles adalah seorang yang sangat percaya pada hak-hak atas kepemilikan tanah dan terhadap prinsip pajak (sewa) tanah tetap sebagai sumber utama penghasilan pemerintah. Perubahan yang dibawa Raffles sama sekali tidak didasarkan pada informasi baru tentang sifat mendasar masyarakat Jawa. Gagasan-gagasan Raffles yang kebanyakan berasal dari teori  ekonomi liberal  dan kebijakan yang pernah dijalankan pemerintah kolonial Inggris di Bengal; dia sangat tidak menyukai sistem dagang VOC. Namun, gagasan ekonomi liberal yang diusung Raffles segera diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda yang baru saja dipulihkan. J. Van den Bosch mengusulkan sesuatu  rancangan yang mendatangkan keuntungan yaitu Sistem Tanam Paksa yang merupakan penerapan prinsip lama dengan corak baru. Sepanjang menyangkut hak-hak atas tanah, sistem ini melanjutkan lebih giat prinsip bahwa penguasa adalah pemilik semua tanah. Sistem Tanam Paksa terus memakai penyelesaian sewa tanah berdasarkan desa, tetapi sekarang ditambah perjanjian kontrak dengan desa untuk menanam komoditas ekspor di tanah-tanah desa . kontrak yang seyogyanya bersifat sukarela pada kenyataannya disepakati lewat tekanan-tekanan halus kelompok elite supradesa.
            Sepanjang menyangkut hak-hak atas tanah , laporan akhir tentang penyelidikan hak-hak atas tanah di Jawa dan Madura yang diadakan pada tahun 1867. Laporan akhir berusaha menetapkan hak-hak individu atas tanah di Jawa dan berhasil memenuhi tujuan yang dimaksud dengan mengakui bahwa kepemilikan penguasa atas tanah memang masih ada di seluruh Jawa. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pola kepemilikan tanah individu tradisional telah hancur akibat tekanan-tekanan Sistem Tanam Paksa. Uraian tentang hak-hak atas tanah di Jawa menjelang abad ke-19 boleh dikatakan sangat tidak lengkap; van den Berg mengutarakannya pada akhir abad ke-19.  Beberapa petunjuk mengenai masalah yang berkaitan dengan hak-hak tanah  mungkin terkumpul sedikit demi sedikit setelah beberapa bagian penting dihilangkan. Kemudian, perdebatan mengenai hak-hak atas tanah di Jawa kembali mengalami pembengkokan pada awal abad ke-20, ketika konsep hukum adat buah gagasan van Vollenhoven muncul mengemukan. Dia mengajukan suatu pandangan agak baru tentang hak-hak tanah dan diuraikan dengan sangat jelas dalam bukunya yang berjudul  The Indonesian and His Land yang diterbitkan pada 1919. Pandangan hak tanah yang dikemukakan van Vollenhoven didasarkan pada pemikiran evolusioner. Kekerabatan, suku, dan desa diseluruh kepulauan Hindia Timur mempunyai hak pembagian asli yang dimasukkan kedalam istilah  hukum menjadi beschikkingsrecht (hak-hak pembagian tanah komunal). Hak pembagian desa dinyatakan dalam hak warga desa untuk memanfaatkan tanah desa dan membatasi orang luar untuk ikut memanfaatkannya. Hak tersebut, menurut van Vollenhoven tidak dapat dialihkan secara permanen. Hak-hak warga desa ini telah diselewengkan, baik oleh kerajaaan-kerajaan di Jawa maupun oleh pemerintah Eropa. Penyalahgunaan berbentuk pelanggaran terhadap hak tanah kaum tani Jawa khususnya, dan hak masyarakat desa untuk mengatur diri secara otonom sebagai suatu badan hukum.
            Sebagai penutup, banyak sekali informasi tentang hak-hak atas tanah di Jawa, melalui berbagai macam metode dan teknik, telah diperoleh selama satu setengah abad. Namun hanya sedikit yang berhasil dipecahkan, karena setiap metodologi terhubung dengan seperangkat keadaan tertentu yang terdiri dari beberapa keinginan dansejumlah prasangka tentang hak-hak atas tanah sebagaimana yang tampak sekarang. Daftar pertanyaan orisinal periode 1790 sampai 1816 barangkali memberikan informasi lebih mendasar mengenai hak atas tanah di Jawa ketimbang gagasan belakangan yang terbentuk sebelumnya tentang hukum pemerintahan, teori sosial ekonomi, dan adat istiadat.

Bab 9 Jawa Abad ke-19 Variasi Tema Transformasi Perdesaan
            Dalam buku karya Robert van Niel, berjudul Sistem Tanam Paksa di Jawa, bagian  bab 9, tentang variasi tema transformasi perdesaan ini memuat tentang kedudukan system tanam paksa yan diberlakukan di tanah Jawa, sekitar abad ke-19. Dalam tulisannya tersebut dikemukakan bahwa kedudukan system tanam paksa yang diberlakukan di tanah Jawa tersebut tidak melulu diidentikan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pihak Belanda selaku negeri yang kala itu menjajah Indonesia. Justru dalam tulisannya ini van Niel menyebutkan beberapa paradigma tidak benar yang selama ini berkembang pada pemikiran masyarakat umum.
            Menurut van Niel perdesaan yang ada di tanah Jawa menggunakan birokrasi tradisional tanah Jawa sendiri untuk menjalankan juga memberlakukan system tanam paksa tersebut. Birokrasi tradisional yang digunakan masyarakat Jawa ini meliputi, kepala-kepala desa beserta jajaran pejabatnya yang berperan sebagai pemilik hak kuasa tanah atas tanah garapan desa di desanya. Untuk pengolahan/penggarapannya sendiri diserahkan kepada masyarakat golongan rendah yang tidak memiliki lahan garapan untuk digarap, namun memerlukan pekerjaan untuk bertahan hidup. Para penggarap tanah ini nantinya akan diberikan upah atau menggunakan system bagi hasil dengan pemilik tanah untu mendapatkan penghasilan.
            Dalam prakteknya, politik-politik birokrasi yang dijalankan suatu daerah tidak lepas dari pengawasan yang mempunyai kuasa atas hal tersebut, sehingga dengan diberlakukannya system tanam paksa ini, tidak mungkin tidak diketahui oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu.
            Inti pembahasan dari materi bab 9 ini adalah system tanam paksa yang diterapkan di tanah Jawa merupakan pertimbangan terbaik yang dilakukan demi memajukan tanah Jawa sendiri. Hal ini dikarenakan pada saat  pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut bukan pemaksaan penanaman padasatu jenis komoditas barang tertentu namun juga upaya membudidayakan tanaman-tanaman yang berpotensi ditanam di Jawa.
            Manfaat yang bisa didapat dari pemberlakuan system tanam paksa di tanah Jawa sangat terasa bahkan hingga ke desa-desa. Pernyataan tersebut didukung oleh beberapa bukti yang menunjukan meningkatnya tingkat perekonomian di Jawa (meski pun tidak di semua daerah), pada beberapa waktu saat diterapkaanya system tanam paksa.
            Pedesaan-pedesaan yang ada di Jawa menjalankan system tanam paksa yang diberlakukan tersebut dinilai oleh van Niel sebagai usaha penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Jadi pemberlakuan system tanam paksa itu tidak melulu suatu hal yang dipaksakan. Namun juga didorong oleh keinginan masyarakatnya untuk berkembang dan mengikuti serta berupaya menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.

Bab 10 Warisan Sistem Tanam Paksa Bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya
            Pembentukan modal, para pengusaha perkebunan swasta yang beroperasi di tanah-tanah kerajaan (Vorstenlanden) pada permulaan abad ke-19 kelihatannya mempunyai potensi besar dalam pertumbuhan dan perluasan modal. System tanam paksa yang dijalankan pada 1830 mempunyai tujuan utama merangsang produksi dan ekspor komoditas pertanian yang laku terjual di pasar dunia. Pemerintah memberi pinjaman uang, melalui perjanjian kontrak, kepada orang-orang yang bersedia membangun pabrik/penggilingan untuk mengolah hasil-hasil bumi yang diserahkan oleh penduduk desa.
            System Tanam Paksa – melalui suntikan modal pemerintah dan perluasan penanaman tanaman dagang untuk pasar dunia – mendorng pembentukan modal swasta ditanam dalam jumlah besar di bidang ekspansi sector pertanian ekspor. Sebagian besar pengembang modal dibangkitkan di Jawa, dan jumlah modal yang mengalir dari luar pulau Jawa relative kecil hingga tahun 1880-an.
            Tenaga kerja murah, penyediaan tenaga kerja yang mencukupi dengan biaya murah merupakan prasyarat pokok bagi penanaman hasil bumi berorientasi ekspor. Pada abad ke-19, penguasaan atas tenaga kerja jauh lebih penting ketimbang penguasaan tanah. System Tanam Paksa memecahkan masalah itu dengan mengeksploitasi – dalam cara baru – pola tradisional tenaga kerja Jawa lewat wajib setor hasil bumi dan kerja kepada penguasa lebih tinggi.
            Ekonomi perdesaan, salah satu tujuan system tanam paksa adalah mengikuti pola-pola kekuasaan tradisional masyarakat Jawa dalam menggerakkan kaum tani di daerah-daerah tertentu supaya mau mengerjakan produksi tanaman dagang ekspor. Pola-pola kuasa tradisional kalangan supradesa sudah berantakan sejak permulaan abad ke 19; Sistem Tanam Paksa hanya dapat memulihkan itu secara tidak alamiah. Warisan Sistem Tanam Paksa yang lebih signifikan adalah perubahan di desa-desa Jawa yang disentuh oleh system itu
Bab III
Penutup

A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang kelompok kami dapatkan setelah mengkaji buku ini adalah, buku yang kami kaji bersifat/beraliran nerlandosentris, hal ini dapat dipahami setelah kami mengkajinya. Dalam buku ini banyak sekali dimuat mengenai kelebihan serta keunggulan-keunggulan pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama pemerintah colonial berkuasa di Indonesia. Tak berhenti sampai pengagungan pemerintah dan kebijakan yang dikeluarkan, dalam buku tersebut juga diagungkan kembali tokoh-tokoh yang berasal dari Belanda.
Pemerintahan, kebijakan, serta tokoh yang diagungkan dalam buku ini dianggap menjadi angina segar bagi bangsa Indonesia yang saat itu dinilai sebagai bangsa yang tatanan/struktur masyarakatnya kurang teratur, khusunya dalam tatanan system perekonomian. Dalam buku tersebut, diulas bahwa segala hal yang berkaitan dengan pihak colonial dianggap benar dan tepat.
B.     Kritik Intern
            Tidak terlalu banyak yang harus dikritisi namun pada bab 7 mengenai dampak budidaya tanaman dagang ekspor pembahasan didalam nya lebih banyak menguraikan tentang masalah sistem nya seperti sistem sewa tanah dan sistem tanam paksa dibanding dengan dampak budidaya tanaman dagang ekspor.
Bahasa yang digunakan dalam buku ini terlalu sulit untuk dipahami dan kadang-kadang ada bacaan yang bisa dikatakan menggantung atau rancu. Dan dalam buku ini juga si penulis buku berani untuk melakukan interpretasi yang banyak dalam historiografi Sistem Tanam Paksa di Jawa hal ini ditunjang karena dalam buku yang ia tulis sendiri masih minimnya bukti-bukti yang berkaitan dengan Sistem itu.
Pembahasan yang dipaparkan di dalam buku ini terlalu mengagungkan tokoh, pemerintah, juga kebijakan yang dikeluarkan oleh Belanda. Seolah-olah bangsa/rakyat Indonesia tidak bisa berbuat banyak untuk mengatur kehidupan perekonomiannya serta meningkat kesejahteraan hidupnya.

C.    Kritik Ekstern
Buku ini menggunakan desain cover yang menurut kelompok kami kurang menarik, sehingga kurang menarik minat baca. Jenis kertas yang digunakan untuk jilid cukup baik, karena tidak mudah rusak. Untuk  kertas di dalamnya menggunakan kertas yang kami rasa kualitasnya baik, karena tidak buram ketika dibaca. Tulisan yang digunakan terlalu rangkap sehingga, jika tulisan ini dibaca ketika malam hari agak sedikit memusingkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar