Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara multietnis di Asia Tenggara.
Karena etnisitas mengandung sifat memecah belah, pemerintahan Indonesia telah
memutuskan untuk mengelola masyarakat multietnis melalui sebuah strategi
integrasi nasional. Tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah bangsa atau nation
berdasarkan batas negara yang ada.
Dapat digarisbawahi tentang konsep bangsa (nation) di dalam
beberapa jenis, antara lain bangsa etno dan bangsa sosial. Berdasarkan definisi
Walker Connor sebuah bangsa diartikan dalam pengertian keturunan yang sama,
tetapi ia juga membedakannya dari sebuah kelompok etnis dengan tingkat
kesadarannya. Konsep ini merujuk kepada gambaran sebuah bangsa etno. Sedangkan
bangsa sosial, yaitu bangsa yang berdasarkan berbagai kelompok etnis yang
berintegrasi menjadi sebuah masyarakat yang memiliki nilai-nilai yang sama.
Dalam kasus ini suatu bangsa tidak berdasar pada sebuah kelompok etnis saja,
terdapat ikatan-ikatan sosial dan kebudayaan dan bukan pada keturunan yang
sama. Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki konsep bangsa sosial.
Salah satu etnis yang ikut berkontribusi dalam pembangunan bangsa
adalah etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang dalam
mengintegrasikan diri mereka ke dalam populasi masyarakat Indonesia. Sebelum
abad ke-19 ketika jumlah orang Tionghoa masih sedikit, lebih mudah bagi
populasi masyarakat Indonesia untuk menyerap mereka. Tetapi sejak paruh kedua
abad ke-19 setelah gelombang besar populasi Tionghoa masuk ke Indonesia,
asimilasi menjadi lebih sulit. Bahkan, sampai saat ini pun sebagai besar etnis
Tionghoa yang tetap kental karakteristik ke-Cina-annya adalah para imigran
yang datang lebih belakangan. Kukuhnya atau merosotnya identitas orang
Tionghoa, khususnya identitas politik yang kuat dengan Cina adalah akibat dari
dua faktor, yakni kebijakan Cina terhadap golongan minoritas ini dan pengaruh
situasi lokal Indonesia.
Tionghoa Perantauan
Telah cukup diketahui bahwa sebelum kolonisasi Barat di Hindia
Belanda, orang Tionghoa telah bermigrasi ke wilayah ini dalam jumlah kecil,
migrasi besar-besaran hanya terjadi setelah kedatangan orang Barat. Faktor
pendorong yang itu kelaparan dan pergolakan di Cina, dan faktor penarik yaitu
eksploitasi ekonomi oleh orang Barat di Hindia Belanda telah menyebabkan arus
masuk Tionghoa perantauan secara besar-besaran. Pendatang yang lebih belakang
membentuk komunitas baru yang sering terpisah dengan masyarakat Tionghoa yang
telah mapan dan terbentuk lebih dahulu.
Jumlah pendatang baru (xin ke) lebih besar dan lebih dinamis
daripada pendatang terdahulu karena mereka baru dan kurang berintegrasi dengan
masyarakat setempat. Mereka masih berbicara dengan bahasa Cina (dialek atau
Mandarin) dan masih menganggap diri mereka warga Cina. Mereka masih tetap
berhubungan dengan Cina dan berorientasi kepada Cina, baik secara kultural
maupun secara politis. Mereka disebut Zhongguo qiaomin (warga negara
Cina yang tinggal di luar negeri) atau Huaqiao (warga Cina yang bermukim
di negara asing) oleh pemerintah Cina. Bahkan, sebutan Huaqiao mulai
digunakan pemerintah Cina pada pertengahan abad ke-19 tanpa konotasi politik
apapun, tetapi awal abad ke-20 sebutan tersebut mulai bermuatan konotasi
politik dan hukum. Istilah ini biasanya diterjemahkan Tionghoa Perantauan atau
“Cina Perantauan”. Pada saat itu, Tionghoa peranakan merujuk kepada Cina
sebagai Tengsua (Tangshan, Gunung Tang) dan diri mereka sendiri
sebagai Tenglang (Tangren, laki-laki dari dinasti Tang).
Tampaknya dinasti Tang memiliki makna khusus bagi Tionghoa perantauan ini.
Sejak tahun 1950-an RRC mulai membedakan warga negara asing dan
warga negara Cina sebelum istilah Huoqiao ditujukan terhadap semua orang
Tionghoa di Cina, tetapi setelah menandatangani perjanjian dwikewarganegaraan
dengan Indonesia setempat sebagai Waiji Huaren (etnis Tionghoa dengan
kewarganegaraan asing) , Zhonggua Xuetong
(keturunan Tionghoa), dan yang paling baru Huaren (etnis
Tionghoa). Di Indonesia berdiam berbagai ragam etnis Tionghoa. Banyak diantara
mereka masih merupakan etnis Tionghoa generasi pertama, sebagai besar dari
mereka mungkin tidak mengetahui perbedaan-perbedaan dalam berbagai istilah yang
disebutkan di atas.
Perkembangan terpenting terakhir dalam konteks kebijakan Cina
terhadap etnis Tionghoa adalah Undang-Undang Kewarganegaraan yang diumumkan
tahun 1980. Berdasarkan undang-undang ini untuk pertama kalinya RRC mendeklarasikan
dengan jelas bahwa etnis Tionghoa tidak lagi menjadi warga negara Cina begitu
mereka memilik kewarganegaraan asing, dan akan diperlakukan sebagaimana orang
asing. Walaupun konsep kewarganegaraan cukup jelas, kesenjangan tetap menganga
antara kewarganegaraan dan kebangsaan. Kewarganegaraan sering dianggap sebagai
istilah hukum yang mungkin dapat diubah sedangkan bangsa memperlihatkan istilah
budaya yang lebih permanen.
Selama dasawarsa terakhir Indonesia, telah memberlakukan kebijakan
asimilasi terhadap etnis Tionghoa. Namun, setelah merdeka Indonesia tidak
langsung memberlakukan kebijakan asimilasionis, tetapi menetapkan kebijakan
integrasi dalam bidang sosial-budaya dan politik. Akan tetapi, secara bertahap
pemerintahan Soekarno mencoba mengurangi kekuatan ekonomi mereka dengan
melarang Tionghoa asing ikut serta dalam perdagangan di pedesaan dan melarang
pendidikan dalam bahasa Cina (Mandarin). Ketika Soeharto berkuasa tahun 1966,
ia melonggarkan larangan aktivitas ekonomi etnis Tionghoa, tetapi pada saat
yang sama, ia mengintensifkan berbagai usaha asimilasi budaya.
Integritas Indonesia
Kebijakan integrasi Indonesia terhadap minoritas etnis pribumi
tampaknya moderat. Integrasi dalam pengertian dalam menciptakan identitas
Indonesia lebih sukses di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Namun,
tidak berarti bahwa identitas etnis Indonesia mulai hilang. Dalam sebagian
besar kasus, identitas etnis di Indonesia masih sangat kuat. Perkawinan
campuran telah menjadi lebih lazim di daerah perkotaan. Tetapi banyak keturunan
perkawinan campuran yang sering diidentifikasikan dengan sebuah kelompok etnis.
Karena merupakan kepulauan, Indonesia menghadapi masalah utama
untuk melakukan integrasi nasional secara intensif. Tampaknya dalam waktu
dekat, identitas etnis akan tetap ada dan proses Indonesianisasi akan lebih
cepat di daerah perkotaan. Dalam hubungannya dengan gerakan separatis di
Indonesia dapat menjadi masalah lagi seperti Irian Jaya, yang baru masuk
wilayah Indonesia pada tahun 1963. Tetapi semua gerakan separatis etnis
berkaitan dengan kebijakan pusat. Kebijakan yang lebih moderat dan pembagian
kekayaan yang lebih baik akan dapat mencegah kebangsaan etnis.
Dalam kasus Tionghoa di Indonesia, kebijakan pemerintah telah lebih
sukses dalam pengertian bahwa lebih banyak Tionghoa perantauan yang menjadi
peranakan lebih banyak Tionghoa peranakan menjadi lebih Indonesia. Namun,
sebagai kelompok etnis Tionghoa tetap dapat dikenali. Dalam bentuk kebudayaan,
orang Tionghoa telah menjadi lebih Indonesia. Tetapi penggolongan antar
kelompok tetap jelas. Namun, karena kebijakan asimilasi pemerintah, kebangkitan
kebudayaan etnis Tionghoa hanya dapat terjadi dalam konteks sebuah negara
kebangsaan (nation-state) Indonesia.
Organisasi/Partai Etnis Tionghoa
Dengan jatuhnya Soeharto dan naiknya Habibie, dimulailah proses
demokratisasi. Di masa silam pemerintah hanya mengizinkan tiga partai politik
yaitu partai Golkar yang berkuasa, partai Islam PPP dan partai nasionalis PDI.
Dua minggu setelah lengsernya Soeharto, partai-partai politik menjamur,
termasuk partai politik yang didirikan etnis Tionghoa.
Partai etnis Tionghoa telah ada sejak awal tahun 50-an, termasuk
Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Pada tahun 1954 partai berbasis
etnis Tionghoa, Baperki, dibentuk yang merupakan penggabungan PDTI dan
organisasi Tionghoa lainnya. Namun, sebutan Tionghoa tidak terdapat pada nama
partai ini dan keanggotaannya tidak terbatas pada orang Tionghoa Indonesia
saja. Ini dilakukan dengan maksud untuk memperlihatkan kepada pribumi Indonesia
bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah orang Indonesia. Tetapi hampir seluruh
anggota partai ini adalah etnis Tionghoa dan bertugas untuk kepentingan etnis
Tionghoa Indonesia. Karena PKI dan partai sayap kiri bersimpati kepada orang
Tionghoa, dalam orientasinya secara bertahap Baperki menjadi partai sayap kiri.
Pendekatan Baperki yang sering dianggap “pendekatan etnis” terhadap pembangunan
bangsa, mewakili kekuatan penting pada era Soekarno.
Banyak etnis Tionghoa Indonesia tidak menyetujui “pendekatan etnis”
ini. Mereka lebih memilih bergabung dengan partai politik yang didominasi
pribumi seperti PNI, Partai Katolik, PKI dan partai-partai Islam. Terdapat pula
sekelompok Tionghoa yang secara terbuka mendukung asimilasi etnis Tionghoa
dengan masyarakat pribumi Indonesia. Kelompok ini, Lembaga Pembinaan Kesatuan
Bangsa, bekerja sama erat dengan militer dan secara terbuka menentang Baperki.
Tetapi dengan tumbangnya Soekarno dan dilarangnya PKI, Baperki juga dibubarkan.
“Pendekatan Etnis” terhadap isu etnis Tionghoa yang ditekan selama
32 tahun, muncul kembali setelah kerusuhan meluas anti-Tionghoa. Sejumlah etnis
Tionghoa menggunakan kesempatan ini untuk membentuk partai baru etnis Tionghoa.
Pada tanggal 5 Juni 1998, sekelompok pemuda Tionghoa Indonesia yang dipimpin
Lieus Sungkharisma (alias Li Xuexiong) mengumumkan berdirinya Partai Reformasi
Tionghoa Indonesia (Parti). Tujuan partai ini adalah meningkatkan kerukunan
antara etnis Tionghoa dan pribumi Indonesia. Selanjutnya, terbentuk partai
kedua oleh Jusuf Hamka, pemuda Tionghoa Islam yang didukung oleh Junus Jahja,
seorang aktivis Tionghoa Islam, yaitu Partai Pembauran Indonesia (Parpindo).
Selain Parti dan Partindo, ada sebuah partai lagi yang bernama Partai Bhineka
Tunggal Ika (PBI) yang didirikan pada 1 Juni 1998 oleh Nurdin Purnomo (alias Wu
Nengbin, yakni seorang pengusaha. Pada awalnya, di Indonesia terdapat 3 partai
etnis Tionghoa, tetapi Parpindo bubar, Parti tidak masuk ke dalam daftar 48
partai yang dibolehkan mengikuti pemilu bulan Juni 1999, hanya PBI yang
berhasil menjadi peserta pemilu.
Kedudukan Etnis Tionghoa di Pemerintahan
Rasanya baru 16 tahun yang lalu Indonesia diguncang gelombang
rasisme terhadap Etnis Tionghoa. Namun kini, masyarakat umum tak malu untuk
memberikan amanat memimpin bagi seorang etnis Tionghoa di pemerintahan daerah
atau pusat. Sebutlah mulai bermunculan Bupati atau Gubernur keturunan Tionghoa
di beberapa daerah. Masih dalam euforia Pemilu 2014, ada baiknya kita melihat
data menarik mengenai partisipasi Etnis Tionghoa di Pemilu yang telah ada.
Pemilu 1999 mencatat kurang dari 50 caleg Etnis Tionghoa. Selanjutnya pada
Pemilu 2004, setidaknya ada 150 caleg yang memliki latar etnis Tionghoa.
Sepuluh tahun kemudian, jumlah tersebut membengkak menjadi 700 caleg Etnis
Tionghoa untuk DPR Pusat, DPRD, dan DPD di Pemilu 2014. Dalam konteks tertentu
kita tidak bisa mengatakan bahwa Etnis Tionghoa kini telah mememiliki kekuatan
politik, namun setidaknya kita bisa mengatakan bahwa sekarang telah berlangsung
momentum kebangkitan Etnis Tionghoa dalam ranah sosial yang sebelumnya
cenderung “absen” dari mereka, yakni politik. Disadari atau tidak, Etnis
Tionghoa di Indonesia pernah memiliki basis kekuatan politik, terutama di Era
Kolonial.
Calon-calon
politisi dari etnis Tionghoa dalam pemilu 2014 sudah banyak bermunculan baik di tingkat
daerah hingga nasional. Pesta demokrasi menjadi kemewahan yang akhirnya
dirasakan warga keturunan Cina yang berpuluh-puluh tahun dikekang aktivitas
politiknya. Taipan media Hary Tanoesoedibyo misalnya dalam pemilu kali ini tak
ragu untuk terjun ke politik praktis dengan mendeklarasikan dirinya sebagai
calon wakil presiden keturunan Tionghoa pertama lewat Partai Hanura. Hary lalu
'membelot' mendukung Prabowo, setelah Hanura menyatakan dukungan ke Joko
Widodo.
Contoh
lainnya adalah bos Lion Air Rusdi Kirana - pebisnis keturunan Cina - juga
secara terbuka menyatakan dukungan ke partai Islam, Partai Kebangkitan Bangsa.
Keputusan -yang dikutip oleh beberapa media- dibuat karena Rusdi merasa
"terinspirasi oleh sosok Gus Dur yang memperjuangkan hak-hak warga
Tionghoa". Terlepas dari kontroversi dukung-mendukung parpol, munculnya
warga etnis Tionghoa di panggung politik mencerminkan kebebasan dan demokrasi. Pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahja Purnama misalnya, terbukti diterima baik oleh warga Jakarta dan menjadi
pusat perhatian media karena kinerjanya yang dianggap baik dan tegas.
Daftar pustaka
Suryadinata,
Leo. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES
Tan, M G. 2008.
Etnis Tionghoa di indonesia: kumpulan tulisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Franciska,
Christne. (2014). Tionghoa dan Politik era Baru di Indonesia. (online)
Tersedia di: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/06/ 140610_lapsus _politik_cina
Zaini, Muhammad
Reza. (2014). Pemilu etnis Tionghoa dari partai Tionghoa hingga Reformasi.
(online) tersedia di: http://www.kompasiana.com/
m.rezazaini/pemilu-etnis-tionghoa-dari-partai-tionghoa-indonesia-hingga-reformasi_54f79969a333119e778b473e
Tidak ada komentar:
Posting Komentar