Minggu, 15 November 2015

Sejarah Singkat Etnis Tionghoa : Dari Perantauan Hingga Duduk di Pemerintahan Indonesia


Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara multietnis di Asia Tenggara. Karena etnisitas mengandung sifat memecah belah, pemerintahan Indonesia telah memutuskan untuk mengelola masyarakat multietnis melalui sebuah strategi integrasi nasional. Tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah bangsa atau nation berdasarkan batas negara yang ada.
Dapat digarisbawahi tentang konsep bangsa (nation) di dalam beberapa jenis, antara lain bangsa etno dan bangsa sosial. Berdasarkan definisi Walker Connor sebuah bangsa diartikan dalam pengertian keturunan yang sama, tetapi ia juga membedakannya dari sebuah kelompok etnis dengan tingkat kesadarannya. Konsep ini merujuk kepada gambaran sebuah bangsa etno. Sedangkan bangsa sosial, yaitu bangsa yang berdasarkan berbagai kelompok etnis yang berintegrasi menjadi sebuah masyarakat yang memiliki nilai-nilai yang sama. Dalam kasus ini suatu bangsa tidak berdasar pada sebuah kelompok etnis saja, terdapat ikatan-ikatan sosial dan kebudayaan dan bukan pada keturunan yang sama. Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki konsep bangsa sosial.
Salah satu etnis yang ikut berkontribusi dalam pembangunan bangsa adalah etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang dalam mengintegrasikan diri mereka ke dalam populasi masyarakat Indonesia. Sebelum abad ke-19 ketika jumlah orang Tionghoa masih sedikit, lebih mudah bagi populasi masyarakat Indonesia untuk menyerap mereka. Tetapi sejak paruh kedua abad ke-19 setelah gelombang besar populasi Tionghoa masuk ke Indonesia, asimilasi menjadi lebih sulit. Bahkan, sampai saat ini pun sebagai besar etnis Tionghoa yang tetap kental karakteristik ke-Cina-annya adalah para imigran yang datang lebih belakangan. Kukuhnya atau merosotnya identitas orang Tionghoa, khususnya identitas politik yang kuat dengan Cina adalah akibat dari dua faktor, yakni kebijakan Cina terhadap golongan minoritas ini dan pengaruh situasi lokal Indonesia.
Tionghoa Perantauan
Telah cukup diketahui bahwa sebelum kolonisasi Barat di Hindia Belanda, orang Tionghoa telah bermigrasi ke wilayah ini dalam jumlah kecil, migrasi besar-besaran hanya terjadi setelah kedatangan orang Barat. Faktor pendorong yang itu kelaparan dan pergolakan di Cina, dan faktor penarik yaitu eksploitasi ekonomi oleh orang Barat di Hindia Belanda telah menyebabkan arus masuk Tionghoa perantauan secara besar-besaran. Pendatang yang lebih belakang membentuk komunitas baru yang sering terpisah dengan masyarakat Tionghoa yang telah mapan dan terbentuk lebih dahulu.
Jumlah pendatang baru (xin ke) lebih besar dan lebih dinamis daripada pendatang terdahulu karena mereka baru dan kurang berintegrasi dengan masyarakat setempat. Mereka masih berbicara dengan bahasa Cina (dialek atau Mandarin) dan masih menganggap diri mereka warga Cina. Mereka masih tetap berhubungan dengan Cina dan berorientasi kepada Cina, baik secara kultural maupun secara politis. Mereka disebut Zhongguo qiaomin (warga negara Cina yang tinggal di luar negeri) atau Huaqiao (warga Cina yang bermukim di negara asing) oleh pemerintah Cina. Bahkan, sebutan Huaqiao mulai digunakan pemerintah Cina pada pertengahan abad ke-19 tanpa konotasi politik apapun, tetapi awal abad ke-20 sebutan tersebut mulai bermuatan konotasi politik dan hukum. Istilah ini biasanya diterjemahkan Tionghoa Perantauan atau “Cina Perantauan”. Pada saat itu, Tionghoa peranakan merujuk kepada Cina sebagai Tengsua (Tangshan, Gunung Tang) dan diri mereka sendiri sebagai Tenglang (Tangren, laki-laki dari dinasti Tang). Tampaknya dinasti Tang memiliki makna khusus bagi Tionghoa perantauan ini.
Sejak tahun 1950-an RRC mulai membedakan warga negara asing dan warga negara Cina sebelum istilah Huoqiao ditujukan terhadap semua orang Tionghoa di Cina, tetapi setelah menandatangani perjanjian dwikewarganegaraan dengan Indonesia setempat sebagai Waiji Huaren (etnis Tionghoa dengan kewarganegaraan asing) , Zhonggua Xuetong  (keturunan Tionghoa), dan yang paling baru Huaren (etnis Tionghoa). Di Indonesia berdiam berbagai ragam etnis Tionghoa. Banyak diantara mereka masih merupakan etnis Tionghoa generasi pertama, sebagai besar dari mereka mungkin tidak mengetahui perbedaan-perbedaan dalam berbagai istilah yang disebutkan di atas.
Perkembangan terpenting terakhir dalam konteks kebijakan Cina terhadap etnis Tionghoa adalah Undang-Undang Kewarganegaraan yang diumumkan tahun 1980. Berdasarkan undang-undang ini untuk pertama kalinya RRC mendeklarasikan dengan jelas bahwa etnis Tionghoa tidak lagi menjadi warga negara Cina begitu mereka memilik kewarganegaraan asing, dan akan diperlakukan sebagaimana orang asing. Walaupun konsep kewarganegaraan cukup jelas, kesenjangan tetap menganga antara kewarganegaraan dan kebangsaan. Kewarganegaraan sering dianggap sebagai istilah hukum yang mungkin dapat diubah sedangkan bangsa memperlihatkan istilah budaya yang lebih permanen.
Selama dasawarsa terakhir Indonesia, telah memberlakukan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa. Namun, setelah merdeka Indonesia tidak langsung memberlakukan kebijakan asimilasionis, tetapi menetapkan kebijakan integrasi dalam bidang sosial-budaya dan politik. Akan tetapi, secara bertahap pemerintahan Soekarno mencoba mengurangi kekuatan ekonomi mereka dengan melarang Tionghoa asing ikut serta dalam perdagangan di pedesaan dan melarang pendidikan dalam bahasa Cina (Mandarin). Ketika Soeharto berkuasa tahun 1966, ia melonggarkan larangan aktivitas ekonomi etnis Tionghoa, tetapi pada saat yang sama, ia mengintensifkan berbagai usaha asimilasi budaya.
Integritas Indonesia
Kebijakan integrasi Indonesia terhadap minoritas etnis pribumi tampaknya moderat. Integrasi dalam pengertian dalam menciptakan identitas Indonesia lebih sukses di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Namun, tidak berarti bahwa identitas etnis Indonesia mulai hilang. Dalam sebagian besar kasus, identitas etnis di Indonesia masih sangat kuat. Perkawinan campuran telah menjadi lebih lazim di daerah perkotaan. Tetapi banyak keturunan perkawinan campuran yang sering diidentifikasikan dengan sebuah kelompok etnis.
Karena merupakan kepulauan, Indonesia menghadapi masalah utama untuk melakukan integrasi nasional secara intensif. Tampaknya dalam waktu dekat, identitas etnis akan tetap ada dan proses Indonesianisasi akan lebih cepat di daerah perkotaan. Dalam hubungannya dengan gerakan separatis di Indonesia dapat menjadi masalah lagi seperti Irian Jaya, yang baru masuk wilayah Indonesia pada tahun 1963. Tetapi semua gerakan separatis etnis berkaitan dengan kebijakan pusat. Kebijakan yang lebih moderat dan pembagian kekayaan yang lebih baik akan dapat mencegah kebangsaan etnis.
Dalam kasus Tionghoa di Indonesia, kebijakan pemerintah telah lebih sukses dalam pengertian bahwa lebih banyak Tionghoa perantauan yang menjadi peranakan lebih banyak Tionghoa peranakan menjadi lebih Indonesia. Namun, sebagai kelompok etnis Tionghoa tetap dapat dikenali. Dalam bentuk kebudayaan, orang Tionghoa telah menjadi lebih Indonesia. Tetapi penggolongan antar kelompok tetap jelas. Namun, karena kebijakan asimilasi pemerintah, kebangkitan kebudayaan etnis Tionghoa hanya dapat terjadi dalam konteks sebuah negara kebangsaan (nation-state) Indonesia.
Organisasi/Partai Etnis Tionghoa
Dengan jatuhnya Soeharto dan naiknya Habibie, dimulailah proses demokratisasi. Di masa silam pemerintah hanya mengizinkan tiga partai politik yaitu partai Golkar yang berkuasa, partai Islam PPP dan partai nasionalis PDI. Dua minggu setelah lengsernya Soeharto, partai-partai politik menjamur, termasuk partai politik yang didirikan etnis Tionghoa.
Partai etnis Tionghoa telah ada sejak awal tahun 50-an, termasuk Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Pada tahun 1954 partai berbasis etnis Tionghoa, Baperki, dibentuk yang merupakan penggabungan PDTI dan organisasi Tionghoa lainnya. Namun, sebutan Tionghoa tidak terdapat pada nama partai ini dan keanggotaannya tidak terbatas pada orang Tionghoa Indonesia saja. Ini dilakukan dengan maksud untuk memperlihatkan kepada pribumi Indonesia bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah orang Indonesia. Tetapi hampir seluruh anggota partai ini adalah etnis Tionghoa dan bertugas untuk kepentingan etnis Tionghoa Indonesia. Karena PKI dan partai sayap kiri bersimpati kepada orang Tionghoa, dalam orientasinya secara bertahap Baperki menjadi partai sayap kiri. Pendekatan Baperki yang sering dianggap “pendekatan etnis” terhadap pembangunan bangsa, mewakili kekuatan penting pada era Soekarno.
Banyak etnis Tionghoa Indonesia tidak menyetujui “pendekatan etnis” ini. Mereka lebih memilih bergabung dengan partai politik yang didominasi pribumi seperti PNI, Partai Katolik, PKI dan partai-partai Islam. Terdapat pula sekelompok Tionghoa yang secara terbuka mendukung asimilasi etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi Indonesia. Kelompok ini, Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa, bekerja sama erat dengan militer dan secara terbuka menentang Baperki. Tetapi dengan tumbangnya Soekarno dan dilarangnya PKI, Baperki juga dibubarkan.
“Pendekatan Etnis” terhadap isu etnis Tionghoa yang ditekan selama 32 tahun, muncul kembali setelah kerusuhan meluas anti-Tionghoa. Sejumlah etnis Tionghoa menggunakan kesempatan ini untuk membentuk partai baru etnis Tionghoa. Pada tanggal 5 Juni 1998, sekelompok pemuda Tionghoa Indonesia yang dipimpin Lieus Sungkharisma (alias Li Xuexiong) mengumumkan berdirinya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti). Tujuan partai ini adalah meningkatkan kerukunan antara etnis Tionghoa dan pribumi Indonesia. Selanjutnya, terbentuk partai kedua oleh Jusuf Hamka, pemuda Tionghoa Islam yang didukung oleh Junus Jahja, seorang aktivis Tionghoa Islam, yaitu Partai Pembauran Indonesia (Parpindo). Selain Parti dan Partindo, ada sebuah partai lagi yang bernama Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI) yang didirikan pada 1 Juni 1998 oleh Nurdin Purnomo (alias Wu Nengbin, yakni seorang pengusaha. Pada awalnya, di Indonesia terdapat 3 partai etnis Tionghoa, tetapi Parpindo bubar, Parti tidak masuk ke dalam daftar 48 partai yang dibolehkan mengikuti pemilu bulan Juni 1999, hanya PBI yang berhasil menjadi peserta pemilu.
Kedudukan Etnis Tionghoa di Pemerintahan
Rasanya baru 16 tahun yang lalu Indonesia diguncang gelombang rasisme terhadap Etnis Tionghoa. Namun kini, masyarakat umum tak malu untuk memberikan amanat memimpin bagi seorang etnis Tionghoa di pemerintahan daerah atau pusat. Sebutlah mulai bermunculan Bupati atau Gubernur keturunan Tionghoa di beberapa daerah. Masih dalam euforia Pemilu 2014, ada baiknya kita melihat data menarik mengenai partisipasi Etnis Tionghoa di Pemilu yang telah ada. Pemilu 1999 mencatat kurang dari 50 caleg Etnis Tionghoa. Selanjutnya pada Pemilu 2004, setidaknya ada 150 caleg yang memliki latar etnis Tionghoa. Sepuluh tahun kemudian, jumlah tersebut membengkak menjadi 700 caleg Etnis Tionghoa untuk DPR Pusat, DPRD, dan DPD di Pemilu 2014. Dalam konteks tertentu kita tidak bisa mengatakan bahwa Etnis Tionghoa kini telah mememiliki kekuatan politik, namun setidaknya kita bisa mengatakan bahwa sekarang telah berlangsung momentum kebangkitan Etnis Tionghoa dalam ranah sosial yang sebelumnya cenderung “absen” dari mereka, yakni politik. Disadari atau tidak, Etnis Tionghoa di Indonesia pernah memiliki basis kekuatan politik, terutama di Era Kolonial.
Calon-calon politisi dari etnis Tionghoa dalam pemilu 2014  sudah banyak bermunculan baik di tingkat daerah hingga nasional. Pesta demokrasi menjadi kemewahan yang akhirnya dirasakan warga keturunan Cina yang berpuluh-puluh tahun dikekang aktivitas politiknya. Taipan media Hary Tanoesoedibyo misalnya dalam pemilu kali ini tak ragu untuk terjun ke politik praktis dengan mendeklarasikan dirinya sebagai calon wakil presiden keturunan Tionghoa pertama lewat Partai Hanura. Hary lalu 'membelot' mendukung Prabowo, setelah Hanura menyatakan dukungan ke Joko Widodo.
Contoh lainnya adalah bos Lion Air Rusdi Kirana - pebisnis keturunan Cina - juga secara terbuka menyatakan dukungan ke partai Islam, Partai Kebangkitan Bangsa. Keputusan -yang dikutip oleh beberapa media- dibuat karena Rusdi merasa "terinspirasi oleh sosok Gus Dur yang memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa". Terlepas dari kontroversi dukung-mendukung parpol, munculnya warga etnis Tionghoa di panggung politik mencerminkan kebebasan dan demokrasi.  Pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama misalnya, terbukti diterima baik oleh warga Jakarta dan menjadi pusat perhatian media karena kinerjanya yang dianggap baik dan tegas.



Daftar pustaka
Suryadinata, Leo. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES
Tan, M G. 2008. Etnis Tionghoa di indonesia: kumpulan tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Franciska, Christne. (2014). Tionghoa dan Politik era Baru di Indonesia. (online) Tersedia di: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/06/ 140610_lapsus _politik_cina
Zaini, Muhammad Reza. (2014). Pemilu etnis Tionghoa dari partai Tionghoa hingga Reformasi. (online) tersedia di: http://www.kompasiana.com/ m.rezazaini/pemilu-etnis-tionghoa-dari-partai-tionghoa-indonesia-hingga-reformasi_54f79969a333119e778b473e

Tidak ada komentar:

Posting Komentar