A.
Pendahuluan
Dalam
memahami sejarah pendidikan di Indonesia banyak bahasan yang dapat ditemukan
untuk dikaji. Secara kronologis, sejarah pendidikan di Indonesia dimulai sejak
masa praaksara hingga modern, dari bentuk yang sederhana hingga kompleks atau
luas mencakup berbagai aspek manusia. Daripada itu, hal yang menarik tentang
dinamika perkembangan pendidikan di Indonesia adalah pengaruh pemikiran
tokoh-tokoh bangsa yang membentuk ragam perspektif pendidikan di Indonesia.
Salah satu pemikiran tokoh yang perlu diangkat semisal pandangan Mohammad
Natsir terhadap dunia pendidikan.
Selain sebagai
negarawan, politisi, diplomat bahkan ulama, Mohammad Natsir ikut serta
memberikan kontribusinya dalam bidang pendidikan. Pemikirannya yang moderat
terbentuk dari hasil didikan dua lingkungan yang berbeda. Beliau pernah menjadi
siswa di sekolah umum buatan Belanda, juga beliau giat dalam berbagai kajian
keagamaan. Hal ini yang memunculkan prinsip integral pendidikan yang mana akan
membawanya sebagai perintis sekolah-sekolah partikelir (wilde school) Islam modern. Dimana pada saat itu masyarakat
bumiputera masih kekurangan sarana pendidikan yang secara khusus diperkenankan
untuk kalangan menengah ke bawah. Dari sekolah partikelir, beliau beranjak
menuju lingkup yang lebih luas yaitu dengan membangun organisasi-organsasi
pendidikan yang tersebar di Indonesia.
B.
Jejak Pendidikan Mohammad Natsir
Mohammad
Natsir lahir pada Jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 bertepatan dengan 17 Juli 1908
Masehi, dari pasangan Sutan Saripado dan Khadijah sebagai anak ketiga dari
empat bersaudara. Beliau dilahirkan disebuah kota sejuk, Alahan Panjang,
Sumatera Barat (Natsir, 2014, hlm. 11-12).
Di kota ini beliau mendapatkan pendidikan dasar agama dari orang tuanya.
Hal ini yang menyebabkan pemikiran beliau tak mudah digoyahkan dari jalur
ke-Islam-annya.
Riwayat
pendidikan Natsir dimulai di Sekolah Rakyat (SR) Maninjau Sumatera Barat hingga
kelas dua. Selanjutnya Natsir mendapat tawaran dari pamannya, Ibrahim ke Padang
agar dapat menjadi siswa di Holland
Inlandse School [HIS] Padang. Akan tetapi sekolah tersebut menolaknya.
Natsir kemudian memasuki HIS Adabiyah (swasta) yang diperuntukan untuk
anak-anak bumiputera. Hanya selama lima bulan ia menjalani pendidikan di
sekolah ini, karena Natsir harus berpisah bersama ayahnya yang ditugaskan
kembali ke Alahan Panjang. Ia pun menjalani pendidikan di sekolah HIS
Pemerintah yang berada di kota Solok, dan dititipkan di rumah saudagar yang
bernama Haji Musa (Natsir, 2014, hlm. 12). Dan ketika sang ayah
pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang tinggal bersama kakaknya. Di sana
dia menamatkan pendidikan dasarnya sebelum akhirnya melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
di Bandung.
Disela-sela
kesibukannya di sekolah pada pagi hari, Natsir juga belajar di Sekolah Diniyah
pada sore hari dan belajar mengaji pada malam hari. Natsir juga mempelajari
bahasa Arab. Pada waktu itulah Natsir mulai menunjukkan bakatnya sebagai
seorang pendidik, saat ia duduk di kelas tiga, ia sudah diminta untuk mengajar
kelas satu. Sebagai “imbalan” atas tugasnya itu Natsir memperoleh honorium
sebesar sepuluh ribu rupiah sebulan (Natsir,
2014, hlm. 13).
Ketika di Padang,
Natsir masuk menjadi salah satu anggota Pandu
Nationale Islamietische Pavinderij -sejenis pramuka sekarang- dari
perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketuai oleh Sanusi
Pane. Menurut Mohammad Natsir, perkumpulan merupakan taman pendidikan pelengkap
yang didapatkan di sekolah (Puar, 1984, hlm. 4). Selain itu, organisasi juga
sebagai arena dan sarana untuk menggemblengkan kemampuannya dalam berkiprah di
tengah masyarakat. Dari sana nampak
minat Natsir terhadap organisasi. Ia mulai menunjukan bakatnya sebagai pemimpin
dalam organisasi-organisasi tersebut.
Ia meneruskan
pendidikan formalnya ke Algememe Midelbare School (AMS) Afdelling A
di Bandung. Dari kota Bandung inilah sejarah panjang perjuangannya dimulai. Ia
belajar agama Islam secara mendalam dan berkecimpung dalam gerakan politik,
dakwah dan pendidikan. Di kota ini, ia bertemu dengan salah satu tokoh radikal
Ahmad Hasan, pendiri Persis, yang diakuinya sangat mempengarui alam pikirannya.
Minat dan perhatiannya
terhadap persoalan keislaman dan kemasyarakatan menyebabkan ia menolak tawaran
untuk melanjutkan studinya ke bidang hukum di Rotterdam, Belanda, atau menjadi
pegawai pemerintah Belanda dengan gaji besar. Kedua tawaran itu diberikn
sebagai hadiah atas keberhasilannya menyelesaikan studi di AMS dengan nilai
tinggi (Natsir, 2014, hlm. 15). Namun bagi Natsir, membina dan mengembangkan
wawasan bagi masyarakat melalui pendidikan jauh lebih penting. Untuk itu Natsir
merealisasikannya dengan aktif di bidang pendidikan.
Sadar terhadap kondisi
lingkungan sekolah umum yang mengajarkan agama, dia mendirikan lembaga
Pendidikan Islam (Pendis). Suatu bentuk pendidikan modern yang mengkombinasi
kurikulum pendidikan umum dengan kurikulum pendidikan pesantren. Ia menjabat
sebagai direktur pendis selama sepuluh tahun. Sejak tahun 1932, lembaga itu
akhirnya berkembang ke wilayah Jawa Barat dan Jakarta.
Setelah matang
membangun Pendis, Natsir mengarahkan andilnya untuk membangun perguruan Islam
lainnya. Ia melakukan adanya koordinasi dan penyelarasan program pendidikan
perguruan Islam bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang memiliki
keseragaman dasar dan cita-cita. Untuk merealisasikan tujuan ini, Natsir
menyeru perguruan dan institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk
wadah bersama yang diberi nama Perikatan
Perguruan-Perguruan Muslim (PERMUSI). Dia
menganggap karangannya yang dimuat dalam majalah Panji Islam itu sebagai seruan
kepada perguruan-perguruan Islam yang ada, yang diminta agar dikirimi majalah
tersebut supaya mereka dapat menyatakan persetujuaanya melaluai redaksi. Tetapi
harapan itu sia-sia. Tak ada sambutan yang antusias terhadap gagasan tersebut,
sehinnga ia terbengkalai begitu saja. Dan perguruan-perguruan Islam tetap saja
berjalan menurut garisnya masing-masing tanpa memperdulikan kesulitan yang
dihadapi murid-muridnya yang misalnya karena orang tuanya pindah kerja dia pun
harus pindah sekolah pula (Rosyidi, 1990, hlm. 204-205).
Natsir juga tercatat
sebagai penggagas di balik berdirinya Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam
Swasta (BKS PTIS) yang memiliki anggota lebih dari 500 PTIS se-Indonesia. Dari
gagasan Mohammad Natsie lahirlah kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar,
seperti UII di Yogyakarta, UISU di Medan, UNISBA di Bandung, UMI di Makasar,
UNISSULA di Semarang, UIR di Riau, Universita Al-Azhar Indonesia, dan LPDI
Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammadiyyah
(Natsir, 2014, hlm. 18).
Karirnya
sebagai politisi dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Ketika tahun 1950,
dalam usia yang relatif muda (42 tahun) menjabat perdana menteri Indonesia Mosi
Integral-nya yang terkenal itu berhasil mengembalikan Republik Indonesia Serikat
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus mengantarkannya duduk di kursi perdana menteri. Namun, pada tahun 1967, Natsir mengalihkan perjuangannya dari politik
ke dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dari sinilah
justru Natsir menemukan masalah umat Islam yang sesungguhnya, yaitu
keterbelakangan SDM umat.
Natsir menikah dengan Nur Hanar pada
tanggal 20 Oktober 1934 di Bandung. Dari buah perkawinannya, dia dikaruniai
enam anak yaitu, Sistem Muslihah (20 Maret 1936), Abu Hanifah (29 April 1037),
Asma Farida (17 Maret 1939), Hasna Azizah (5 Mei 1941), Asyatul Asryah (20 Mei
1942) dan Ahmad Fauzan (26 April 1944).18 Dari keenam putra-putri tersebut,
tidak ada satupun yang mengikuti jejak sang ayah, yaitu sebagai pemikir,
politikus, dan ahli dakwah. Mohammad Natsir wafat pada tanggal 6 Pebruari 1993
bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta dalam usia 85 tahun (Al-Asy’ari,
2014, hlm. 465).
C. Pemikiran Terhadap Pendidikan: Tauhid
sebagai Dasar Pendidikan
M. Natsir tahun 1934 dalam pidatonya saat Rapat Persatuan
Islam di Bogor mengatakan sebagai berikut.
{Seringkali pula kenjataan, ada jang menganggap bahwa
didikan Islam itu ialah didikan Timur, dan didikan Barat ialah lawan dari
didikan Islam. Boleh djadi, ini reaksi terhadap didikan “kebaratan” jang
ada dinegeri kita, jang memang sebagian dari akibat-akibatnja tidak mungkin kita
menjetudjuinja sebagai umat Islam. Akan tetapi tjoba kita berhenti sebentar dan
bertanja: “Apakah sudah boleh kita katakan bahwa
Islam itu anti-Barat dan pro-Timur, chususnja dalam pendidikan?!
Pertanjaan itu hanja bisa kita djawab apabila sudah terdjawab lebih dulu: “Apakah
kiranja jang mendjadi tudjuan dari didikan Islam itu?” Jang dinamakan
didikan, ialah suatu pimpinan djasmani dan ruhani jang menudju kepada
kesempurnaan dan lengkapnja sifat-sifat kemanusiaan dalam arti jang
sesungguhnja} (Natsir, 1961, hlm. 81-82).
Sedangkan prinsip dasar dan tujuan dari pendidikan itu
sendiri dijelaskan Natsir dalam majalah Pandji Islam tahun 1938 sebagai
berikut:
{Sekiranja orang bertanja kepada pemimpin-pemimpin sekolah
agama kita, dari Sabang sampai ke Endeh, dari Balikpapan sampai ke Tjiltjap,
dari kota-kota jang besar sampai kedusun-dusun: “Apakah dasar dan
tjita-tjita dari pendidikan jang tuan berikan?”, maka sudah tentu akan
mendapat djawaban, pendek atau pandjang, dapat disimpulkan dengan: “Dasar
didikan kami ialah Tauhid, jang tersimpul dalam dua kalimah-sjahadat,
Tauhid, jang mendjadi pokok dari kemerdekaan dan kekuatan ruhani, dasar dari
kemadjuan dan ketjerdasan manusia. Tudjuan pendidikan kami ialah mendidik
anak-anak kami, agar sanggup memenuhi sjarat-sjarat penghidupan manusia sebagai
jang tersimpul dalam kalam Allah: “Wabtaghi fimâ
ata-kallahud-dâral-âchirata, wa lâ tansâ nashibaka minad-dun-jâ”…, supaja
anak-anak kami itu dapat memenuhi kewadjiban-kewadjiban jang perlu mentjapai
tingkat “hamba Allah”, jakni setinggi-tinggi deradjat jang mendjadi
tudjuan bagi tiap-tiap manusia menurut kejakinan Muslimin, sebagaimana jang
terlukis dalam firman Allah: “wa mâ chalaqtul-djinna wal insa illâ
lija’buduni”} (Natsir, 1961, hlm. 105).
Dari apa yang dikatakan di atas terlihat bahwa Natsir
memagang prinsip integral, tidak dualistik dalam pendidikan. Natsir tidak
menginginkan bahwa umat Islam hanya menguasai ilmu-ilmu agama sehingga
tertinggal dalam persaingan global. Demikian juga sebaliknya. Dia tidak mau
umat Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu “umum” dan buta terhadap agamanya yang
akan menyebabkan mereka tidak mengetahui misi hidup yang sesungguhnya
berdasarkan petunjuk Islam.
Pikirannya itu muncul setelah ia melihat kenyataan di
lapangan pada masanya bahwa praktik pendidikan yang dihadapi umat satu sama
lain saling menegasikan dan berseberangan. Di satu sisi, pendidikan klasikal a
la Belanda yang baru diperkenalkan kepada masyarakat Muslim Indonesia pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama melalui kebijakan Politik Etis
Belanda, sama sekali tidak mengajarkan dan menyentuh aspek-aspek agama.
Sekularisme begitu jelas membayang-bayangi sistem pendidikan baru ini.
Sementara di sisi lain, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli
Indonesia bersikap antipati terhadap semua yang berbau Belanda. Sikap ini mudah
untuk dimaklumi mengingat sepanjang abad ke-19, pihak pesantren dengan penuh
semangat jihad fi sabilillah menggerakkan berbagai elemen umat dan masyarakat
untuk berperang melawan penjajah Belanda yang telah sekian lama menindas rakyat
Nusantara. Oleh sebab itu, apapun yang bau Belanda dianggap buruk dan harus
disingkirkan, termasuk pendidikan yang ditawarkannya melalui Politik Etis.
Natsir adalah tokoh yang dibesarkan dalam dua dunia
sekaligus. Melalui guru-guru mengajinya waktu kecil, ia mempelajari Islam
dengan baik dari tradisi yang di Jawa disebut “pesantren”. Di kampung
halamannya, lembaga pendidikan sejenis ini disebut “surau”. Oleh sebab itu, ia
pun sekaligus dapat memahami bagaimana kultur yang berkembang di pesantren. Di
sisi lain, ia oleh ayahnya yang tidak sepenuhnya menolak anasir-anasir
kemodernan yang diperkenalkan Belanda, disekolahkan juga di sekolah modern made
in Belanda. Ia bersekolah di HIS, kemudian meneruskan ke MULO, dan akhirnya
menyelesaikan AMS di Bandung. Selama di Bandung, ia pun tidak hanya menyerap
kultur pendidikan modern di AMS, tetapi juga mengikuti pengajian-pengajian
agama di mesjid Persatuan Islam di bawah bimbingan Ahmad Hassan.
Latar belakang pendidikannya itulah yang membuat Natsir
mengerti kedua kultur pendidikan yang saat itu saling menegasikan. Natsir
melihat bahwa sebetulnya pada masing-masing terdapat kelemahan dan kelebihan
seperti yang disebutkannya di atas. Oleh karena itulah, ia kemudian mencoba
melakukan “integrasi” yang diharapkannya dapat mengatasi kebuntuan yang satu
sama lain sebenarnya saling tidak menguntungkan.
Natsir melihat bahwa titik pengikat di antara
tarikan-tarikan kedua domain pendidikan yang dianggap saling bertentangan itu
adalah “Tauhid”. Tauhid, menurutnya, adalah pangkal dari semua jenis
pendidikan. Apapun yang diajarkan dalam sistem pendidikan manapun pada
prinsipnya harus menjadikan peserta didiknya menjadi “bertauhid”. Setelah
“bertauhid” setiap peserta didik harus mampu beramal dan melakukan berbagai
aktivitas untuk meraih dua hal: kehidupan sejahtera di akhirat dan di dunia.
Untuk
mendapatkan kesejahteraan di akhirat tentu ada ilmunya. Demikian juga untuk
meraih kesejahteraan di dunia. Oleh sebab itu, kedua hal tersebut harus
diajarkan secara seimbang kepada peserta didik. Bila salah satunya hilang, maka
akan terjadi ketimpangan dalam pencapaian kehidupan ini. Terlalu berat
mempelajari agama untuk kehidupan akhirat dengan menafikan pengetahuan (modern)
untuk menghadapi dan “menaklukkan” kehidupan yang tengah dihadapi akan
mengakibatkan umat Islam kalah langkah dari kaum kafir. Demkian juga
sebaliknya, terlalu menekankan pengetahuan modern sambil menafikan pengetahuan
agama, menyebabkan peserta didik tidak akan memiliki sikap moral “tauhid” yang
sangat fundamental bagi kehidupan seorang manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.
D. Natsir, Persatuan Islam dan A.
Hassan
Dalam membangun pemikirannya terhadap
pendidikan, ada salah satu tokoh yang sangat mempengaruhi pemikiran Mohammad
Natsir, yakni Ahmad Hassan. Beliau adalah salah satu tokoh perintis Persatuan
Islam. Natsir pertama kali bertemu dengan A. Hassan ketika sedang mengenyam
pendidikan di AMS Bandung.
Selama di Bandung,
Natsir pun tidak hanya menyerap kultur pendidikan modern di
AMS, tetapi juga mengikuti pengajian-pengajian agama di mesjid Persatuan Islam
di bawah bimbingan Ahmad Hassan. Gagasan moderat A.
Hassan pun mulai merasuki pemikiran Natsir yang sudah agak memudar perhatiannya
terhadap Islam. Hal ini karena sebelumnya Natsir lebih dekat dengan para tokoh
nasionalis seperti Soekarno di PNI.
Ahmad Hassan adalah mentor Natsir dalam
memahami Islam dan perkembangannya. Sehingga pemikiran Natsir terhadap
pendidikan pun ikut terbawa arus oleh pemikiran moderat A. Hassan. Tentang hubungan M. Natsir dengan Persis dijelaskan
DR. Thohir Luth, dalam bukunya M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya sebagai
berikut, dikemukakan dalam riwayat hidupnya bahwa M. Natsir benar-benar
mempunyai hubungan secara organisatoris dengan Persatuan Islam (Persis) di
Bandung. Bahkan melalui Persis ini, M. Natsir dapat bergaul dan mendapat
didikan dari tokoh utama Persis, yaitu Ahmad Hassan. Disebutkan juga bahwa dari
Persis inilah M. Natsir mulai meniti kariernya sebagai pejuang,
negarawan dan agamawan. Ini berarti bagi M. Natsir, Persis merupakan dapur
pertama yang menggodoknya menjadi seorang pemimpin terkemuka di Negara Republik
Indonesia ini; dengan pengertian lain, Persis sangat berjasa mengantarkan M.
Natsir sebagai tokoh dan pemimpin besar dunia.
E.
Perjuangan Membangun Pendidikan Islam
Perjuangan
pertama yang dilakukan Natsir untuk mewujudkan visi pendidikannya adalah mendirikan
lembaga pendidikan di lingkungan pergerakan Persatuan Islam di Bandung yang
diberi nama “Pendidikan Islam” (Pendis) pada tahun 1927. Awalnya diselenggarakan semacam kursus pada sore
hari bagi mereka yang telah menamatkan HIS namun tidak mampu melanjutkan ke
sekolah yang lebih tinggi. Pelajarannya terdiri dari pengetahuan umum dan
bahasa Inggris di samping pelajaran agama. Kelas yang pertama kali hanya diisi
lima orang murid ini diselenggarakan selama dua jam, dari pukul tiga sampai
pukul lima sore di sebuah gedung di Jalan Pangeran Soemedang yang sengaja
disewa Natsir (Bachtiar, 2014)
Bulan-bulan berikutnya ternyata murid
yang mendaftar semakin banyak. Kesulitan serius yang dihadapi Natsir setelah
bertambahnya murid adalah masalah keuangan. Masalahnya ia harus menambah jumlah
tempat duduk dan sarana pendidikan lain yang sudah tidak memadai lagi. Namun
kesulitan itu dapat teratasi berkat bantuan Haji Muhammad Yunus, salah seorang
saudagar kaya pendiri Persis, yang selalu memberikan bantuan keuangan bagi
kepentingan pendidikan yang diselenggarakannya.
Sambil tetap memberikan kursus pada sore
hari, ketika pemerintah membuka kursus untuk menjadi guru bagi tamatan HBS dan
AMS yang lamanya hanya setahun, Natsir segera mengikutinya agar ia mendapat
wewenang mengajar sebagai seorang guru (Rosidi, 1990, hlm. 161-164).
Pada bulan Maret 1932, diselenggarakan
pertemuan dengan kaum muslimin yang menaruh perhatian terhadap masalah
pendidikan. Pertemuan ini menyepakati berdirinya lembaga pendidikan bernama
“Pendidikan Islam” yang cikal bakalnya adalah kursus sore hari yang dirintis
oleh Natsir. Usaha yang akan dilakukan oleh lembaga pendidikan ini adalah
menyelenggarakan dan mengembangkan pelajaran-pelajaran ilmu modern yang
dipadukan dengan pelajaran dan pendidikan Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
Adapun program yang dijalankannya antara lain: mendirikan sekolah-sekolah
seperti Frobel School (Taman Kanak-kanak), HIS, MULO, serta pertukangan
dan perdagangan; mengadakan asrama (internaat), mengadakan kursu-kursus
dan ceramah-ceramah. (Rosidi, 1990, hlm. 169). Selain itu dibuka pula kweekschool
(sekolah guru). Natsir sendiri dipercaya untuk menjadi ketua di lembaga
“Pendidikan Islam” ini.
Referensi
Al-Asy’ari, M. Khoirul Hadi. (2014). Dakwah transformatif Mohammad
Natsir. Yogjakarta:
UIN Sunan Kalijaga.
Natsir, Mohammad. (1973). Capita selecta jilid 1. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Natsir, Mohammad. (2014). Islam sebagai dasar negara. Bandung: Sega Arsy.
Puar,
A. Yusuf. (1978). M. Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan Perjuangan. Jakarta:
Pustaka Antara.
Rosyidi, Ajip. (1990). M. Natsir, sebuah biografi. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Sumber Internet
Bachtiar, Tiar. (2014). M. Natsir: Dari pendis sampai dakwah kampus (peran M.Natsir dalam
pembangunan pendidikan Indonesia). [online]. Diakses dari: https://www.academia.edu/9735289/M._Natsir_Dari_Pendis_sampai_Dakwah_Kampus_Peran_M._Natsir_dalam_Pembangunan_Pendidikan_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar