Minggu, 15 November 2015

Prasasti Mimpi part 1 karya Tio Andito


Prasasti Tiga Peradaban


C
ahaya mentari pagi terpancar dari ujung fajar. Menghangatkan seluruh penjuru kota. Udara segar di pagi hari dipenuhi oleh kemurnian embun yang jernih dan tersebar menyatu bersama atmosfir bumi. Lampu-lampu perlahan redup dan hilang seiring merayapnya sinar surya diatas atap-atap rumah penduduk. Bunga-bunga bermekaran menyambut kehadiran hangat pagi. Manusia mulai bertebaran melakukan rutinitas keseharian. Itulah suasana pagi musim semi yang sangat dinantikan.
Ahlan bersiap-siap menanti bus sekolah dengan wajah agak gelisah. “Sudah jam segini busnya belum juga datang? Bisa-bisa kesiangan.” Dalam hatinya penuh dengan kecemasan.
Burung-burung berkicau seakan menghibur Ahlan yang sedang kesal menunggu. Dan beberapa saat kemudian terlihatlah bus yang dinanti itu di ujung pandangannya. Dengan sigap ia segera bergegas untuk naik bus tersebut. Keberangkatan-nya demi mencari setetes ilmu ditengah lautan yang maha luas.
“Pagi ini sangat cerah, tapi sepertinya tidak untukmu, Lan.” Sapa Neyla sambil menengok ke arah belakang tempat duduknya.
“Tahu saja kamu, Ney. Hari ini aku sedang bosan.” Tanggap Ahlan tak bergairah.
“Memang ada apa gerangan yang membuat seorang Ahlan biasa bersemangat menjadi murung seperti ini?” Tanya Neyla penasaran.
“Biasa Ney, hasil ulangan harianku minggu ini tidak memuaskan.” Jawab Ahlan lesu.
“Pasti pelajaran Sejarah ya?” tanya Neyla kembali sambil tertawa kecil.
“Kalau sudah tahu kenapa tanya. Kamu mau mengejekku?” jawab Ahlan kesal.
“Nggak kok Lan, cuman bercanda, hehe.” Neyla tersenyum melihat Ahlan manyun dan tersipu malu.
Obrolan hangat menemani awal hari mereka. Meski suasana terlihat kurang bersemangat, namun cahaya sang surya tak urung untuk terus bersinar. Pagi yang cerah berjalan bersama laju waktu.
Neyla adalah teman Ahlan sejak kecil. Mulai dari sekolah dasar sampai SMA mereka selalu bersama. Canda-tawa, senang-sedih, suka-duka telah mereka alami dan lewati. Mereka pun saling mengenal karakterisitik masing-masing, baik itu kelebihan maupun kelemahan. Sehingga terjalinlah persahabatan yang sangat erat ikatannya.
***
Di selasar sekolah waktu istirahat. Para siswa memenuhi kantin dan lapangan. Ada siswa yang tengah asyik mengobrol di sisi kelas sambil duduk manis menikmati sarapan yang telah mereka siapkan sejak dari rumah. Adapula siswa yang mengisi jam istirahatnya dengan bermandikan keringat bermain sepak bola di lapangan sekolah.
“Ahlan!” panggil Neyla tiba-tiba sambil berlari menghampiri Ahlan.
Ahlan pun menengok ke sumber suara yang tak asing itu.
“Neyla? Ada apa?” gumam Ahlan penasaran.
“Lan, nanti pulang sekolah kita ke rumah kakekku yuk?” ajak Neyla.
“Mau apa Ney?” ucap Ahlan malas.
“Pokoknya ada sesuatu yang ingin aku tunjukan ke kamu, Lan. Makanya mau ya?” Ujar Neyla dengan wajah memohon.
“Ya terserah kamu saja, Ney. Lagian aku lagi bete diam di rumah.” Ucap Ahlan acuh
“Oke, kalau begitu sampai nanti sepulang sekolah. Aku tunggu di depan gerbang.” Ucap Neyla tersenyum riang sambil meninggalkan Ahlan.
“Dasar wanita, kerjaannya membuat laki-laki penasaran saja.” Gumam Ahlan menggeleng-kan kepala.
Bel tanda berakhirnya waktu belajar terdengar nyaring sampai ke penjuru sekolah. Terlihat Ahlan yang sudah standby menunggu di depan gerbang sekolah. Ia masih penasaran tentang sesuatu yang akan ditunjukan Neyla di rumah kakeknya itu.
“Kira-kira apa yang mau Neyla tunjukan kepadaku?” gumam Ahlan sambil mengusap-usap dagunya.
Tidak lama menunggu. Neyla berlari meng-hampiri Ahlan yang sejak tadi diam di depan gerbang.
“Kamu yang buat janji, tapi kamu juga yang terlambat.” Ucap Ahlan kesal.
“Maaf, Lan. Tadi aku ada piket kebersihan kelas, jadi terlambat deh. Sekali lagi maaf ya?” Ujar Neyla memohon dengan ekspresi tersipu malu.
“Ya sudah terserah kamu. Sekarang kita langsung berangkat saja. Langit sudah gelap, seperti mau hujan.” Ahlan berjalan menuju halte bus dekat sekolah.
“Iya, Lan. Padahal tadi pagi terlihat cerah.” Ujar Neyla lekas mengikuti Ahlan.
***
Rumah tua yang megah dengan halaman yang dihiasi tanaman-tanaman indah berupa berbagai macam bunga berwarna-warni. Berpagarkan besi dengan ukiran yang menarik. Laksana istana zaman kerajaan Majapahit. Unik dan antik. Itulah rumah kakek Neyla.
“Ney, sudah lama aku tidak kesini. Sejak aku pindah sangat jarang mengunjungi kakek. Ternyata tidak ada perubahan.” Ucap Ahlan menatap rumah tersebut.
“Kata siapa tidak ada perubahan? Nanti aku tunjukan ke kamu sesuatu yang menarik.” Ujar Neyla membuat Ahlan semakin penasaran.
Hujan pun turun disela dialog mereka. Mereka segera bergegas menuju pintu rumah tersebut. Neyla menekan bel rumah. Tak lama pintu terbuka. Tampak seorang wanita paruh baya dibalik pintu.
“Ternyata non Neyla. Ayo silahkan masuk non!” ucap wanita tersebut dengan nada halus.
“Non? Sejak kapan Neyla dipanggil non?” gumam Ahlan menyembunyikan tawa kecil dengan tangannya terkejut mendengar sapaan wanita tersebut.
“Kamu kenapa, Lan?” ucap Neyla mengernyit sambil melihat Ahlan sedikit agak aneh.
“Nggak, Ney. Tadi aku lihat anak kucing lucu-lucu.” Ujar Ahlan mengelak.
Suasana di dalam ruang tamu yang megah dan dipenuhi barang-barang antik menjadi nostalgia bagi Ahlan. Ia membayangkan saat-saat kecil ketika bermain di ruangan tersebut bersama Neyla. Senyum-senyum kecil tampak di wajah Ahlan.
“Hey, jangan melamun!” Neyla mengagetkan Ahlan.
“Ah kamu, Ney. Ganggu orang sedang asyik saja.” Ahlan terkejut.
“Hahaha..., memang kamu membayangkan apa, Lan?” tanya Neyla.
“Aku membayangkan ketika kecil kita bermain di ruangan ini. Aku ingat saat kamu nangis, cuma karena kita saling berebut mainan. Hahaha...” Ahlan tertawa riang.
Mereka tertawa bersama sambil merasakan saat-saat kecil yang tidak pernah mereka lupakan. Saat-saat dimana yang mereka tahu hanya tentang bermain dan bermain. Jauh berbeda dengan saat sekarang. Dimana pikiran mereka sudah terisi dengan berbagai persoalan, salah satunya tugas sekolah yang menumpuk dan tuntutan belajar yang tidak bisa ditawar lagi. Tanpa disadari wanita tadi datang dan membawa makanan dan jus jeruk.
“Silahkan non, den diminum dulu airnya.” Ucap wanita tersebut menyodorkan gelas dari baki.
“Terima kasih bu.” Ucap Ahlan tersenyum. Ia merasa penasaran kepada wanita tersebut. Sebab ketika ia sering mengunjungi kakek Neyla pada saat dahulu belum pernah ia melihatnya. Ia pun bertanya kepada Neyla dengan berbisik cukup pelan.
“Ney, kalau boleh tahu, wanita itu siapa? Aku belum pernah melihat ia sebelumnya.”
“Oh mbok Sari, dia adalah ibu dari cucu angkat kakek.” Jawab Neyla berbisik pula.
“Cucu angkat? Yang bener Ney? Sejak kapan kakek punya cucu angkat?” Ahlan kaget mendengar keterangan Neyla.
Bagaimana tidak kaget. Sepengetahuan Ahlan bahwa cucu semata wayangnya kakek adalah Neyla. Apakah mungkin karena Neyla sudah pindah dari rumah kakek? Dan kakek mencari cucu baru untuk menemaninya.
Neyla memang terpaksa pindah karena ia harus ikut bersama ayahnya. Semenjak meninggal ibu Neyla karena kecelakaan, kakek memang hidup sendiri di rumah yang megah itu. Mungkin itulah alasan kakek mempunyai cucu baru.
“Panjang Lan ceritanya. Nanti saja kamu tanyakan langsung ke dia.” Ucap Neyla dengan wajah malas.
“Berarti sekarang kamu punya saudara baru dong. Dan yang tadi itu bibimu?” ujar Ahlan.
“Ya begitulah, aku senang mereka ada disini bisa menemani kakek” Neyla tersenyum manis.
Neyla pun beranjak dari tempat duduknya dan menuju dapur. Ternyata ia hendak menghampiri mbok Sari yang sedang memasak. Aroma masakan yang merasuk ke lubang hidung Neyla seakan menarik rasa penasarannya.
“Sedang masak apa mbok?” tanya Neyla melirik penggorengan sumber dari aroma sedap makanan.
“Non mengagetkan mbok saja. Ini mbok sedang masak makanan kesukaan Non.” Jawab Mbok Sari menengok Neyla lalu fokus kembali memasak.
“Wahh, pasti capcay ya mbok? Tahu saja kalau Neyla sedang lapar.” Neyla memegang perutnya.
Mbok tersenyum. Entah mengapa setiap kali Neyla melihat mbok seperti itu ia teringat kenangan saat bersama ibunya. Ia merasa nyaman dan tenteram bila dekat dengan mbok Sari.
Dahulu ibu sering membuatkan capcay ke-sukaan Neyla. Dan sekarang mbok Sari lah peng-gantinya.
“Ngomong-ngomong dimana kakek, mbok?” tanya Neyla.
“Kalau tidak salah tadi mbok melihat kakek sedang di halaman belakang, Non.” Jawab mbok Sari.
“Oh di belakang ya. Ney kesana dulu ya mbok. Nanti kalau sudah matang cepat-cepat panggil Neyla.” Neyla bergegas ke ruang tengah menghampiri Ahlan yang sedang membaca sebuah buku.
“Hey, sedang apa kamu, Lan?” Neyla menepak pundak Ahlan.
“Ahhh... dasar kamu Ney, kalau datang jangan sambil mengagetkanku.” Ahlan tersentak kaget dan tanpa sengaja menjatuhkan buku yang dipegang-nya.
“Buku apa ini, Lan?” Neyla mengambil buku tersebut yang terjatuh ke lantai.
“Nggak tahu Ney. Tadi aku menemukannya dibawah meja.”
“Judulnya The Cradle of Civilization artinya tempat lahir dari peradaban. Pasti tentang sejarah.” Neyla membaca cover buku tersebut.
“Iya betul, itu tentang sejarah. Isinya tentang sebuah peradaban gitu, Ney.” Ucap Ahlan.
“Tumben baca buku sejarah. Bukannya kamu yang paling anti?” ejek Neyla.
“Apa sih kamu, Ney. Aku memang jelek di pelajaran sejarah, tapi bukan berarti aku itu nggak suka.” Ahlan mencoba membela diri.
Walaupun memang Ahlan tidak pernah mendapatkan nilai yang bagus dalam pelajaran sejarah, namun ia senantiasa berusaha untuk tidak membenci pelajaran tersebut. Menurutnya sesuatu yang menyulitkan itu adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi. Semakin sukarnya sesuatu untuk dikerjakan maka akan semakin semangat ia untuk menyelesaikannya.
Sifat pantang menyerah ini menjadi dasar yang membuat Ahlan menjadi seorang yang tegar dan teguh pendirian. Setiap mendapatkan tantangan, ia tidak pernah lari selangkah pun karena itu adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi dirinya.
“Lan, ayo kita ke tempat kakek!” ajak Neyla sambil berjalan menuju halaman belakang.
“Oh iya aku belum bertemu kakek sejak tadi.” Ahlan berdiri dan mengikuti Neyla.
Sampai di sebuah halaman yang cukup indah nan asri. Banyak pepohonan yang tumbuh rindang menghiasi. Mencuci mata dari kegersangan pencitraan keseharian. Buah-buahan masak me-warnai dominan kehijauan yang menjadikannya amat eksotis untuk dipandang.
Terlihat kakek sedang bermain catur dengan seorang anak laki-laki. Anak itu kemungkinan seumuran dengan Neyla dan Ahlan. Ia memakai kacamata, bermata sipit, berambut rapih, dan berkulit putih, seperti keturunan China.
“Kakek kalah lagi. Kamu memang jenius.” ujar kakek kecewa.
Neyla berlari menghampiri mereka, “Kakek!” panggilnya dan langsung memeluk kakek, “Ney kangen kakek, rasanya sudah lama aku tidak mengunjungi kakek”.
“Oh ada cucu kakek yang cantik. Kapan kamu kemari, Ney?” tanya kakek tersenyum.
“Ney langsung kesini sepulang sekolah tadi.” Jawab Neyla melepas pelukannya.
Ahlan berjalan mendekati kakek dan mengesun tangannya. “Kakek, bagaimana kabarnya?”
“Ahlan, kamu sudah besar. Kakek sehat, bagaimana denganmu?” kakek tersenyum melihat Ahlan yang sudah berbeda dibandingkan saat terakhir bertemu.
“Aku baik-baik saja, Kek.” Jawab Ahlan.
“Oh iya, Lan. Kenalkan ini cucu baru kakek!”
Ahlan menatap anak laki-laki itu dengan wajah penasaran. Anak laki-laki itu menyodorkan tangan-nya. Dan mereka pun berjabat tangan saling memperkenalkan diri.
“Kenalkan namaku Albert.” Ucapnya dengan wajah dingin dan suara yang datar.
“Kenalkan juga namaku Ahlan, teman Neyla sejak kecil.” Balas Ahlan tersenyum.
Pertemuan Ahlan dengan Albert tidak sehangat pertemuan dengan kakek. Albert dengan wajah kakunya, dan Ahlan dengan wajah berserinya seakan menjadi sebuah kontradiksi. Bagaikan air dengan api, hitam dengan putih, kegelapan dengan cahaya terang, dan sebagainya.
Kepribadian mereka pun sepertinya sebuah kebalikan. Dapat dilihat dari aura yang terpancar dari keduanya.
“Tidak terasa dari tadi siang kakek bermain catur. Ternyata sekarang sudah sore. Ayo kita masuk ke dalam saja. Udara di luar cukup dingin.” Ajak kakek beranjak dari kursi rotannya.
Ahlan dan Neyla pun bergegas mengikuti kakek dari belakang. Sementara Albert merapihkan papan catur beserta bijinya.
Ahlan berbisik ketelinga Neyla, “Ney, sepertinya Albert orangnya pendiam ya?”
“Ya seperti itulah dia. Walaupun sifatnya cukup dingin. Tapi ia sangat memperhatikan kakek.” Ucap Neyla. Ahlan mengangguk-angguk pelan men-dengarkan tanggapan Neyla tentang Albert.
Kakek lebih dahulu masuk, disusul oleh Neyla dan Ahlan. Mereka tidak melihat kakek setelah belokan arah ke ruang tengah.
“Kakek kemana ya, Ney? Perasaan baru saja aku melihat kakek belok ke arah sini.” tanya Ahlan.
“Iya Lan. Aku juga nggak melihat.” jawab Neyla juga penasaran.
“Oh iya, Ney. Katanya kamu mau menunjukkan aku sesuatu.” Lanjut Ahlan menagih janji.
“Aku baru ingat. Sampai lupa, Lan.” Neyla ter-senyum malu. Dan ia pun mengajak Ahlan ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari ruang tengah.
Ruangan tersebut penuh dengan benda-benda antik. Mulai dari patung-patung, lukisan-lukisan, arca, posil-posil manusia purba, binatang dan sebuah prasasti yang cukup aneh. Ruangan itu cukup redup, berlantaikan papan kayu dengan cat dinding berwarna hitam legam. Ruangan tersebut seperti museum mini yang cukup menakutkan.
Neyla menarik tangan Ahlan dan membawanya masuk kedalam ruangan tersebut. Ahlan terpaku membisu, badannya diam bagaikan patung, wajahnya tertegun melihat setiap sisi ruangan. Entah takjub atau takut. Tanpa berkedip, ia mencoba menikmati kekagumannya terhadap apa yang ia lihat itu. Dalam hatinya ia bergumam, “Tempat apa ini? Luar biasa.”
“Cukup kagumnya, Lan. Jangan menganga begitu! Nanti lalat masuk loh.” Ujar Neyla memutus keterkaguman Ahlan dengan sedikit candaan.
“Ney, ini tempat apa? Banyak sekali benda antik. Ini benar punya kakekmu? Dari ia mengumpulkan semua ini? Sangat mengagumkan.” Ahlan menanggapi candaan kecil Neyla dengan masih dalam keadaan terfokus menyusuri benda-benda tersebut sambil menyentuhnya dengan belaian halus.
“Hahaha... baru kali ini aku melihatmu seperti itu, Lan. Biasa saja ekspresinya!” Neyla tertawa sambil menghampiri Ahlan.
“Nah benda ini yang aku mau tunjukan ke kamu.” Ujar Neyla.
“Waaahh, ini kan sebuah prasasti.”
“Benar sekali. Ini merupakan sebuah prasasti yang berumur kurang lebih 4 ribu tahun, Lan” lanjut penjelasan Neyla.
“Bagaimana kakekmu bisa mendapatkan benda ini?” tanya Ahlan dengan segumpal rasa penasaran-nya.
“Aku juga nggak tahu, Lan. Soalnya kakek tidak pernah menceritakannya.” Jawab Neyla.
Mereka mengamati prasasti tersebut dengan sangat seksama. Prasasti tua yang terbuat dari batu, berbentuk segi panjang yang menjulang ke langit. bertuliskan dengan tiga macam huruf. Tersusun dari tiga papan batu. Yang paling atas bertuliskan huruf paku, yang tengah bertuliskan huruf pallawa, dan yang paling dasar bertuliskan huruf china kuno. Sungguh prasasti yang cukup unik. Karena tidak biasanya sebuah prasasti tersusun dari beberapa bahasa. Namun, jika diamati prasasti ini sepertinya dibuat oleh beberapa peradaban.
“Sedang apa kalian?” tegur seseorang dari belakang seperti mencurigai. Neyla dan Ahlan pun sentak mengengok.
“Albert?” gumam Ahlan.
Ternyata Albert sudah berada di muka ruangan dengan wajah dinginnya memperhatikan Neyla dan Ahlan. Ia menghampiri mereka yang cukup dikagetkan oleh tegurannya.
“Eh Albert, kami hanya sedang melihat-lihat benda koleksi kakek.” Neyla menegaskan.
“Kalian jangan sembarang menyentuh barang-barang ini. Itu peraturan dari kakek Jason.” Albert menegur kembali mereka.
“Sejak kapan kakek seperti itu kepada cucu kesayangannya? Itu hanya bualanmu saja, agar kami terkekang oleh peraturanmu itu, dan kamu bebas melakukan apapun di rumah ini!” ucap Neyla marah atas teguran Albert.
“Sudah, Ney! Mungkin benar apa yang dikatakan Albert. Lagi pula ini semua adalah benda-benda antik jadi kita tidak bisa seenaknya untuk menyentuh benda-benda ini.” Ahlan mencoba melerai.
Dengan ekspresi yang masih dingin, Albert terdiam tanpa suara sedikit pun. Neyla bergegas keluar meninggalkan ruangan tersebut. Ahlan menyusul Neyla yang sedang marah dan mencoba meredakannya.
“Lan, kadang-kadang aku nggak suka sama anak itu.” ujar Neyla duduk di sofa sambil menyilangkan tangannya dengan wajah cemberut.
“Tenang, Ney. Jangan diambil hati. Lagipula ia hanya menyampaikan kata-kata kakek. Sebaiknya kamu minta maaf karena sudah memarahinya.” Ahlan duduk disamping Neyla sambil mengusap pundak-nya. Namun Neyla masih saja terlihat marah.
“Meminta maaf katamu? Tidak mau!” ucap Neyla dengan raut wajah kesalnya.
“Neyla, aku minta maaf!” ujar Albert tiba-tiba berdiri dihadapan Neyla.
“Sejak kapan dia disini?” gumam Ahlan terkejut.
Neyla menatap Albert yang sedang menyodorkan tangan tanda meminta maaf.
“Tuh, Ney. Albert sudah meminta maaf. Cepat berjabat tangan!” Seru Ahlan merayu Neyla agar mau berbaikan.
Neyla terdiam sejenak dan akhirnya ia mau menerima jabat tangan Albert.
“Baiklah untuk kali ini aku maafkan!” ucap Neyla sambil memalingkan wajah.
Memang wanita memiliki rasa gengsi yang tinggi. Padahal mereka yang melakukan salah, mereka pula yang menginginkan tanda maaf. Sungguh sulit memahami mereka. Untung saja Albert langsung meminta maaf. Kalau tidak. Mungkin akan semakin membesar masalahnya. Itulah yang dipikirkan oleh Ahlan melihat kejadian tersebut.
“Oh iya, bolehkah aku bertanya kepadamu, Albert?” ucap Ahlan.
“Boleh.” Jawab singkat Albert.
“Apakah kamu yang merawat benda-benda di ruangan tadi?” tanya Ahlan.
“Iya. Memang kenapa?”
“Apakah kamu tahu dari mana prasasti yang tadi kami amati?”
“Itu prasasti tiga peradaban.” Jawab Albert.
Rupanya Albert diberi tugas untuk menjaga dan merawat benda-benda antik milik kakek Neyla. Ia juga mengetahui tentang apapun yang melekat pada benda-benda tersebut. Selain itu Albert sangat jenius. Terbukti ia mampu mengalahkan beberapa kali kakek Neyla dalam bermain catur. Selain itu ia sangat menyukai ilmu pengetahuan. Segala macam jenis buku ia cerna. Termasuk buku-buku tentang benda-benda kuno. Tidak ada satu hari pun ia tinggalkan kecuali membaca buku. Meski semua buku di tempat kakek Jason sudah ia pelajari, tak henti ia mengulang membacanya. Sungguh seorang anak rajin dan cerdas.
“Bisakah kamu ceritakan bagaimana asal usul prasasti tersebut!” seru Ahlan .
“Ceritanya cukup panjang. Jika mau tahu bisa kamu baca dalam buku the Cradle of Civilization.” Jawab Albert menolak.
Ahlan termenung sejenak. Ternyata segala pertanyaannya terdapat dalam buku yang tadi ia temukan. Namun pertanyaannya adalah dimana buku itu sekarang? Terakhir Ahlan melihat dalam genggaman Neyla. Tetapi tidak ada.
Neyla berdiri dan berjalan menuju halaman belakang. “Mau kemana, Ney?” ujar Ahlan melihat Neyla pergi. Namun ia tidak menjawab sedikitpun. Sepertinya ia masih marah tentang kejadian tadi. Dan Albert pun meninggalkan Ahlan. Sekarang hanya Ahlan seorang diri duduk tertegun dengan wajah penuh berbagai pertanyaan.
.”Haduh bukannya happy malah kacau begini. Ku kira melepas penat di luar rumah akan lebih baik, ternyata tidak sama sekali.” Gumam Ahlan kecewa.
Ahlan menundukan kepala memikirkan cara untuk mengubah suasana kelam ini dengan keceriaan dan kebahagiaan. Ia ingin semua bisa berkumpul bermain bersama seperti saat-saat kecil dulu. Kedua tangannya menjenggut rambut seakan menandakan keputusasaan.
Tiba-tiba, “Ahlan!!!” terdengar sebuah teriakan memanggil dari arah ruangan museum mini tadi. Ahlan bergegas berdiri dan lari menghampiri sumber suara tersebut.
“Ada apa, Ney?” Ahlan mencoba bertanya dengan suara cukup keras. Ia mengkhawatirkan Neyla. “Aku yakin tadi suara itu suara Neyla.” Gumam Ahlan sambil mempercepat langkahnya.
Setelah ia memasuki ruangan tersebut. Ia tidak menemukan seseorang pun. Ia menyusuri setiap sisi ruangan berharap menemukan Neyla. “Ney, kamu dimana? Ney, apa yang terjadi?” Ahlan sangat cemas. Hingga ia sampai di depan Prasasti Tiga Peradaban. Ia menemukan buku yang tadi dicarinya tergeletak dilantai. Menambah rasa penasarannya ia mencoba berpikir. “Buku ini terakhir kulihat dibawa oleh Neyla. Pasti ia tidak jauh dari sini.” Ucap Ahlan dalam hati.
“Dimana Neyla?” tiba-tiba Albert menarik kerah baju bagian depan Ahlan. Ia mengira Ahlan telah berbuat macam-macam terhadap Neyla.
“Apa-apaan ini? Lepaskan!” Ahlan mendorong Albert hingga terjatuh. Albert pun berdiri kembali.
“Apa yang kamu lakukan terhadap Neyla? Jawab jujur! Tadi aku mendengar suaranya disini dan kulihat hanya ada kamu.” Albert sangat mencurigai Ahlan.
“Aku juga sedang mencari Neyla. Kenapa kau bisa mencurigaiku seperti itu. Sebaiknya kita mencarinya bersama.” Ujar Ahlan membela diri.
“Dasar pembohong. Cepat jawab pertanyaanku atau aku akan melaporkan ini ke kakek!” desak Ahlan tidak percaya dengan pengakuan Ahlan. Albert melihat buku yang dipegang Ahlan dan langsung merebutnya.
“Inikan buku kakek yang hilang!” gumam Albert menambah rasa penasaran.
“Dari mana kamu mendapatkan buku ini?” tanya Albert kembali.
“Aku menemukannya tergeletak di lantai. Buku itu terakhir aku lihat dibawa oleh Neyla.” jawab Ahlan menjelaskan.
Albert membuka buku tersebut. Ia melihat sebuah kalimat dan mencoba membacanya.
“Bu-ka-lah-ger-bang-wak-tu-du-ni-a-ti-ga-per-a-dab-an.” Ahlan menterjemahkan kata demi kata.
“Apa yang kamu baca barusan?” tanya Ahlan sambil melihat bibir Albert bergerak seperti mengatakan sesuatu.
Cahaya putih terpancar dari Prasasti Tiga Peradaban. Ahlan dan Albert terkejut. Mereka menutupi silauan tersebut dengan tangan sambil membuka mata perlahan-lahan. Mereka tertarik kedalam inti cahaya tersebut.
“Sepertinya kita tersedot ke dalam cahaya ini.” Ucap Ahlan sambil melawan daya tarikan tersebut. Ia melihat Albert sudah mendekati inti cahaya tersebut. Sebagian tubuhnya sedikit demi sedikit hilang tertelan. Ahlan semakin merasa takut. “Aaaaaarrghhh... toloooong!” suara terakhir Albert yang terdengar oleh Ahlan dan ia menengok ke belakang ternyata Albert telah meng-hilang entah kemana.
Kaki Ahlan terangkat perlahan. Badannya melayang dan semakin tertarik masuk ke dalam inti cahaya. Ia memejamkan mata. Tak sepatah kata pun ia ucapkan. Rupanya ia sedang berdoa agar terselamatkan. Ahlan menghilang di telan cahaya tersebut.
Setelah melahap kedua anak tersebut. Cahaya putih itu pun menipis. Semakin redup dan sirna tanpa meninggalkan jejak.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar