Prasasti Tiga Peradaban
C
|
ahaya mentari pagi terpancar dari ujung
fajar. Menghangatkan seluruh penjuru kota. Udara segar di pagi hari dipenuhi
oleh kemurnian embun yang jernih dan tersebar menyatu bersama atmosfir bumi.
Lampu-lampu perlahan redup dan hilang seiring merayapnya sinar surya diatas
atap-atap rumah penduduk. Bunga-bunga bermekaran menyambut kehadiran hangat
pagi. Manusia mulai bertebaran melakukan rutinitas keseharian. Itulah suasana
pagi musim semi yang sangat dinantikan.
Ahlan bersiap-siap menanti bus sekolah
dengan wajah agak gelisah. “Sudah jam segini busnya belum juga datang?
Bisa-bisa kesiangan.” Dalam hatinya penuh dengan kecemasan.
Burung-burung berkicau seakan menghibur
Ahlan yang sedang kesal menunggu. Dan beberapa saat kemudian terlihatlah bus
yang dinanti itu di ujung pandangannya. Dengan sigap ia segera bergegas untuk
naik bus tersebut. Keberangkatan-nya demi mencari setetes ilmu ditengah lautan
yang maha luas.
“Pagi ini sangat cerah, tapi sepertinya
tidak untukmu, Lan.” Sapa Neyla sambil menengok ke arah belakang tempat
duduknya.
“Tahu saja kamu, Ney. Hari ini aku sedang
bosan.” Tanggap Ahlan tak bergairah.
“Memang ada apa gerangan yang membuat
seorang Ahlan biasa bersemangat menjadi murung seperti ini?” Tanya Neyla
penasaran.
“Biasa Ney, hasil ulangan harianku minggu
ini tidak memuaskan.” Jawab Ahlan lesu.
“Pasti pelajaran Sejarah ya?” tanya Neyla
kembali sambil tertawa kecil.
“Kalau sudah tahu kenapa tanya. Kamu mau
mengejekku?” jawab Ahlan kesal.
“Nggak kok Lan, cuman bercanda, hehe.” Neyla
tersenyum melihat Ahlan manyun dan tersipu malu.
Obrolan hangat menemani awal hari mereka.
Meski suasana terlihat kurang bersemangat, namun cahaya sang surya tak urung untuk
terus bersinar. Pagi yang cerah berjalan bersama laju waktu.
Neyla adalah teman Ahlan sejak kecil.
Mulai dari sekolah dasar sampai SMA mereka selalu bersama. Canda-tawa,
senang-sedih, suka-duka telah mereka alami dan lewati. Mereka pun saling
mengenal karakterisitik masing-masing, baik itu kelebihan maupun kelemahan.
Sehingga terjalinlah persahabatan yang sangat erat ikatannya.
***
Di selasar sekolah waktu istirahat. Para
siswa memenuhi kantin dan lapangan. Ada siswa yang tengah asyik mengobrol di
sisi kelas sambil duduk manis menikmati sarapan yang telah mereka siapkan sejak
dari rumah. Adapula siswa yang mengisi jam istirahatnya dengan bermandikan
keringat bermain sepak bola di lapangan sekolah.
“Ahlan!” panggil Neyla tiba-tiba sambil
berlari menghampiri Ahlan.
Ahlan pun menengok ke sumber suara yang
tak asing itu.
“Neyla? Ada apa?” gumam Ahlan penasaran.
“Lan, nanti pulang sekolah kita ke rumah
kakekku yuk?” ajak Neyla.
“Mau apa Ney?” ucap Ahlan malas.
“Pokoknya ada sesuatu yang ingin aku
tunjukan ke kamu, Lan. Makanya mau ya?” Ujar Neyla dengan wajah memohon.
“Ya terserah kamu saja, Ney. Lagian aku
lagi bete diam di rumah.” Ucap Ahlan acuh
“Oke, kalau begitu sampai nanti sepulang
sekolah. Aku tunggu di depan gerbang.” Ucap Neyla tersenyum riang sambil
meninggalkan Ahlan.
“Dasar wanita, kerjaannya membuat
laki-laki penasaran saja.” Gumam Ahlan menggeleng-kan kepala.
Bel tanda berakhirnya waktu belajar
terdengar nyaring sampai ke penjuru sekolah. Terlihat Ahlan yang sudah standby
menunggu di depan gerbang sekolah. Ia masih penasaran tentang sesuatu yang akan
ditunjukan Neyla di rumah kakeknya itu.
“Kira-kira apa yang mau Neyla tunjukan
kepadaku?” gumam Ahlan sambil mengusap-usap dagunya.
Tidak lama menunggu. Neyla berlari meng-hampiri
Ahlan yang sejak tadi diam di depan gerbang.
“Kamu yang buat janji, tapi kamu juga
yang terlambat.” Ucap Ahlan kesal.
“Maaf, Lan. Tadi aku ada piket kebersihan
kelas, jadi terlambat deh. Sekali lagi maaf ya?” Ujar Neyla memohon dengan
ekspresi tersipu malu.
“Ya sudah terserah kamu. Sekarang kita
langsung berangkat saja. Langit sudah gelap, seperti mau hujan.” Ahlan berjalan
menuju halte bus dekat sekolah.
“Iya, Lan. Padahal tadi pagi terlihat
cerah.” Ujar Neyla lekas mengikuti Ahlan.
***
Rumah tua yang megah dengan halaman yang
dihiasi tanaman-tanaman indah berupa berbagai macam bunga berwarna-warni.
Berpagarkan besi dengan ukiran yang menarik. Laksana istana zaman kerajaan
Majapahit. Unik dan antik. Itulah rumah kakek Neyla.
“Ney, sudah lama aku tidak kesini. Sejak
aku pindah sangat jarang mengunjungi kakek. Ternyata tidak ada perubahan.” Ucap
Ahlan menatap rumah tersebut.
“Kata siapa tidak ada perubahan? Nanti
aku tunjukan ke kamu sesuatu yang menarik.” Ujar Neyla membuat Ahlan semakin
penasaran.
Hujan pun turun disela dialog mereka.
Mereka segera bergegas menuju pintu rumah tersebut. Neyla menekan bel rumah.
Tak lama pintu terbuka. Tampak seorang wanita paruh baya dibalik pintu.
“Ternyata non Neyla. Ayo silahkan masuk
non!” ucap wanita tersebut dengan nada halus.
“Non? Sejak kapan Neyla dipanggil non?”
gumam Ahlan menyembunyikan tawa kecil dengan tangannya terkejut mendengar
sapaan wanita tersebut.
“Kamu kenapa, Lan?” ucap Neyla mengernyit
sambil melihat Ahlan sedikit agak aneh.
“Nggak, Ney. Tadi aku lihat anak kucing
lucu-lucu.” Ujar Ahlan mengelak.
Suasana di dalam ruang tamu yang megah
dan dipenuhi barang-barang antik menjadi nostalgia bagi Ahlan. Ia membayangkan
saat-saat kecil ketika bermain di ruangan tersebut bersama Neyla. Senyum-senyum
kecil tampak di wajah Ahlan.
“Hey, jangan melamun!” Neyla mengagetkan
Ahlan.
“Ah kamu, Ney. Ganggu orang sedang asyik
saja.” Ahlan terkejut.
“Hahaha..., memang kamu membayangkan apa,
Lan?” tanya Neyla.
“Aku membayangkan ketika kecil kita bermain
di ruangan ini. Aku ingat saat kamu nangis, cuma karena kita saling berebut
mainan. Hahaha...” Ahlan tertawa riang.
Mereka tertawa bersama sambil merasakan
saat-saat kecil yang tidak pernah mereka lupakan. Saat-saat dimana yang mereka
tahu hanya tentang bermain dan bermain. Jauh berbeda dengan saat sekarang.
Dimana pikiran mereka sudah terisi dengan berbagai persoalan, salah satunya
tugas sekolah yang menumpuk dan tuntutan belajar yang tidak bisa ditawar lagi.
Tanpa disadari wanita tadi datang dan membawa makanan dan jus jeruk.
“Silahkan non, den diminum dulu airnya.”
Ucap wanita tersebut menyodorkan gelas dari baki.
“Terima kasih bu.” Ucap Ahlan tersenyum.
Ia merasa penasaran kepada wanita tersebut. Sebab ketika ia sering mengunjungi
kakek Neyla pada saat dahulu belum pernah ia melihatnya. Ia pun bertanya kepada
Neyla dengan berbisik cukup pelan.
“Ney, kalau boleh tahu, wanita itu siapa?
Aku belum pernah melihat ia sebelumnya.”
“Oh mbok Sari, dia adalah ibu dari cucu
angkat kakek.” Jawab Neyla berbisik pula.
“Cucu angkat? Yang bener Ney? Sejak kapan
kakek punya cucu angkat?” Ahlan kaget mendengar keterangan Neyla.
Bagaimana tidak kaget. Sepengetahuan
Ahlan bahwa cucu semata wayangnya kakek adalah Neyla. Apakah mungkin karena
Neyla sudah pindah dari rumah kakek? Dan kakek mencari cucu baru untuk
menemaninya.
Neyla memang terpaksa pindah karena ia
harus ikut bersama ayahnya. Semenjak meninggal ibu Neyla karena kecelakaan,
kakek memang hidup sendiri di rumah yang megah itu. Mungkin itulah alasan kakek
mempunyai cucu baru.
“Panjang Lan ceritanya. Nanti saja kamu tanyakan
langsung ke dia.” Ucap Neyla dengan wajah malas.
“Berarti sekarang kamu punya saudara baru
dong. Dan yang tadi itu bibimu?” ujar Ahlan.
“Ya begitulah, aku senang mereka ada
disini bisa menemani kakek” Neyla tersenyum manis.
Neyla pun beranjak dari tempat duduknya
dan menuju dapur. Ternyata ia hendak menghampiri mbok Sari yang sedang memasak.
Aroma masakan yang merasuk ke lubang hidung Neyla seakan menarik rasa
penasarannya.
“Sedang masak apa mbok?” tanya Neyla
melirik penggorengan sumber dari aroma sedap makanan.
“Non mengagetkan mbok saja. Ini mbok
sedang masak makanan kesukaan Non.” Jawab Mbok Sari menengok Neyla lalu fokus
kembali memasak.
“Wahh, pasti capcay ya mbok? Tahu
saja kalau Neyla sedang lapar.” Neyla memegang perutnya.
Mbok tersenyum. Entah mengapa setiap kali
Neyla melihat mbok seperti itu ia teringat kenangan saat bersama ibunya. Ia
merasa nyaman dan tenteram bila dekat dengan mbok Sari.
Dahulu ibu sering membuatkan capcay ke-sukaan
Neyla. Dan sekarang mbok Sari lah peng-gantinya.
“Ngomong-ngomong dimana kakek, mbok?”
tanya Neyla.
“Kalau tidak salah tadi mbok melihat
kakek sedang di halaman belakang, Non.” Jawab mbok Sari.
“Oh di belakang ya. Ney kesana dulu ya
mbok. Nanti kalau sudah matang cepat-cepat panggil Neyla.” Neyla bergegas ke
ruang tengah menghampiri Ahlan yang sedang membaca sebuah buku.
“Hey, sedang apa kamu, Lan?” Neyla
menepak pundak Ahlan.
“Ahhh... dasar kamu Ney, kalau datang
jangan sambil mengagetkanku.” Ahlan tersentak kaget dan tanpa sengaja
menjatuhkan buku yang dipegang-nya.
“Buku apa ini, Lan?” Neyla mengambil buku
tersebut yang terjatuh ke lantai.
“Nggak tahu Ney. Tadi aku menemukannya
dibawah meja.”
“Judulnya The Cradle of Civilization artinya
tempat lahir dari peradaban. Pasti tentang sejarah.” Neyla membaca cover buku
tersebut.
“Iya betul, itu tentang sejarah. Isinya
tentang sebuah peradaban gitu, Ney.” Ucap Ahlan.
“Tumben baca buku sejarah. Bukannya kamu
yang paling anti?” ejek Neyla.
“Apa sih kamu, Ney. Aku memang jelek di
pelajaran sejarah, tapi bukan berarti aku itu nggak suka.” Ahlan mencoba
membela diri.
Walaupun memang Ahlan tidak pernah
mendapatkan nilai yang bagus dalam pelajaran sejarah, namun ia senantiasa
berusaha untuk tidak membenci pelajaran tersebut. Menurutnya sesuatu yang
menyulitkan itu adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi. Semakin sukarnya
sesuatu untuk dikerjakan maka akan semakin semangat ia untuk menyelesaikannya.
Sifat pantang menyerah ini menjadi dasar yang
membuat Ahlan menjadi seorang yang tegar dan teguh pendirian. Setiap
mendapatkan tantangan, ia tidak pernah lari selangkah pun karena itu adalah
sebuah kebanggaan tersendiri bagi dirinya.
“Lan, ayo kita ke tempat kakek!” ajak
Neyla sambil berjalan menuju halaman belakang.
“Oh iya aku belum bertemu kakek sejak
tadi.” Ahlan berdiri dan mengikuti Neyla.
Sampai di sebuah halaman yang cukup indah
nan asri. Banyak pepohonan yang tumbuh rindang menghiasi. Mencuci mata dari
kegersangan pencitraan keseharian. Buah-buahan masak me-warnai dominan
kehijauan yang menjadikannya amat eksotis untuk dipandang.
Terlihat kakek sedang bermain catur
dengan seorang anak laki-laki. Anak itu kemungkinan seumuran dengan Neyla dan
Ahlan. Ia memakai kacamata, bermata sipit, berambut rapih, dan berkulit putih,
seperti keturunan China.
“Kakek kalah lagi. Kamu memang jenius.”
ujar kakek kecewa.
Neyla berlari menghampiri mereka,
“Kakek!” panggilnya dan langsung memeluk kakek, “Ney kangen kakek, rasanya
sudah lama aku tidak mengunjungi kakek”.
“Oh ada cucu kakek yang cantik. Kapan
kamu kemari, Ney?” tanya kakek tersenyum.
“Ney langsung kesini sepulang sekolah
tadi.” Jawab Neyla melepas pelukannya.
Ahlan berjalan mendekati kakek dan
mengesun tangannya. “Kakek, bagaimana kabarnya?”
“Ahlan, kamu sudah besar. Kakek sehat,
bagaimana denganmu?” kakek tersenyum melihat Ahlan yang sudah berbeda
dibandingkan saat terakhir bertemu.
“Aku baik-baik saja, Kek.” Jawab Ahlan.
“Oh iya, Lan. Kenalkan ini cucu baru
kakek!”
Ahlan menatap anak laki-laki itu dengan
wajah penasaran. Anak laki-laki itu menyodorkan tangan-nya. Dan mereka pun
berjabat tangan saling memperkenalkan diri.
“Kenalkan namaku Albert.” Ucapnya dengan
wajah dingin dan suara yang datar.
“Kenalkan juga namaku Ahlan, teman Neyla
sejak kecil.” Balas Ahlan tersenyum.
Pertemuan Ahlan dengan Albert tidak
sehangat pertemuan dengan kakek. Albert dengan wajah kakunya, dan Ahlan dengan
wajah berserinya seakan menjadi sebuah kontradiksi. Bagaikan air dengan api,
hitam dengan putih, kegelapan dengan cahaya terang, dan sebagainya.
Kepribadian mereka pun sepertinya sebuah
kebalikan. Dapat dilihat dari aura yang terpancar dari keduanya.
“Tidak terasa dari tadi siang kakek bermain
catur. Ternyata sekarang sudah sore. Ayo kita masuk ke dalam saja. Udara di
luar cukup dingin.” Ajak kakek beranjak dari kursi rotannya.
Ahlan dan Neyla pun bergegas mengikuti
kakek dari belakang. Sementara Albert merapihkan papan catur beserta bijinya.
Ahlan berbisik ketelinga Neyla, “Ney,
sepertinya Albert orangnya pendiam ya?”
“Ya seperti itulah dia. Walaupun sifatnya
cukup dingin. Tapi ia sangat memperhatikan kakek.” Ucap Neyla. Ahlan
mengangguk-angguk pelan men-dengarkan tanggapan Neyla tentang Albert.
Kakek lebih dahulu masuk, disusul oleh
Neyla dan Ahlan. Mereka tidak melihat kakek setelah belokan arah ke ruang
tengah.
“Kakek kemana ya, Ney? Perasaan baru saja
aku melihat kakek belok ke arah sini.” tanya Ahlan.
“Iya Lan. Aku juga nggak melihat.” jawab
Neyla juga penasaran.
“Oh iya, Ney. Katanya kamu mau
menunjukkan aku sesuatu.” Lanjut Ahlan menagih janji.
“Aku baru ingat. Sampai lupa, Lan.” Neyla
ter-senyum malu. Dan ia pun mengajak Ahlan ke sebuah ruangan yang cukup jauh
dari ruang tengah.
Ruangan tersebut penuh dengan benda-benda
antik. Mulai dari patung-patung, lukisan-lukisan, arca, posil-posil manusia
purba, binatang dan sebuah prasasti yang cukup aneh. Ruangan itu cukup redup,
berlantaikan papan kayu dengan cat dinding berwarna hitam legam. Ruangan
tersebut seperti museum mini yang cukup menakutkan.
Neyla menarik tangan Ahlan dan membawanya
masuk kedalam ruangan tersebut. Ahlan terpaku membisu, badannya diam bagaikan
patung, wajahnya tertegun melihat setiap sisi ruangan. Entah takjub atau takut.
Tanpa berkedip, ia mencoba menikmati kekagumannya terhadap apa yang ia lihat
itu. Dalam hatinya ia bergumam, “Tempat apa ini? Luar biasa.”
“Cukup kagumnya, Lan. Jangan menganga
begitu! Nanti lalat masuk loh.” Ujar Neyla memutus keterkaguman Ahlan dengan
sedikit candaan.
“Ney, ini tempat apa? Banyak sekali benda
antik. Ini benar punya kakekmu? Dari ia mengumpulkan semua ini? Sangat
mengagumkan.” Ahlan menanggapi candaan kecil Neyla dengan masih dalam keadaan
terfokus menyusuri benda-benda tersebut sambil menyentuhnya dengan belaian
halus.
“Hahaha... baru kali ini aku melihatmu
seperti itu, Lan. Biasa saja ekspresinya!” Neyla tertawa sambil menghampiri
Ahlan.
“Nah benda ini yang aku mau tunjukan ke
kamu.” Ujar Neyla.
“Waaahh, ini kan sebuah prasasti.”
“Benar sekali. Ini merupakan sebuah
prasasti yang berumur kurang lebih 4 ribu tahun, Lan” lanjut penjelasan Neyla.
“Bagaimana kakekmu bisa mendapatkan benda
ini?” tanya Ahlan dengan segumpal rasa penasaran-nya.
“Aku juga nggak tahu, Lan. Soalnya kakek
tidak pernah menceritakannya.” Jawab Neyla.
Mereka mengamati prasasti tersebut dengan
sangat seksama. Prasasti tua yang terbuat dari batu, berbentuk segi panjang
yang menjulang ke langit. bertuliskan dengan tiga macam huruf. Tersusun dari
tiga papan batu. Yang paling atas bertuliskan huruf paku, yang tengah
bertuliskan huruf pallawa, dan yang paling dasar bertuliskan huruf china kuno.
Sungguh prasasti yang cukup unik. Karena tidak biasanya sebuah prasasti
tersusun dari beberapa bahasa. Namun, jika diamati prasasti ini sepertinya
dibuat oleh beberapa peradaban.
“Sedang apa kalian?” tegur seseorang dari
belakang seperti mencurigai. Neyla dan Ahlan pun sentak mengengok.
“Albert?” gumam Ahlan.
Ternyata Albert sudah berada di muka
ruangan dengan wajah dinginnya memperhatikan Neyla dan Ahlan. Ia menghampiri
mereka yang cukup dikagetkan oleh tegurannya.
“Eh Albert, kami hanya sedang
melihat-lihat benda koleksi kakek.” Neyla menegaskan.
“Kalian jangan sembarang menyentuh
barang-barang ini. Itu peraturan dari kakek Jason.” Albert menegur kembali
mereka.
“Sejak kapan kakek seperti itu kepada
cucu kesayangannya? Itu hanya bualanmu saja, agar kami terkekang oleh
peraturanmu itu, dan kamu bebas melakukan apapun di rumah ini!” ucap Neyla
marah atas teguran Albert.
“Sudah, Ney! Mungkin benar apa yang
dikatakan Albert. Lagi pula ini semua adalah benda-benda antik jadi kita tidak
bisa seenaknya untuk menyentuh benda-benda ini.” Ahlan mencoba melerai.
Dengan ekspresi yang masih dingin, Albert
terdiam tanpa suara sedikit pun. Neyla bergegas keluar meninggalkan ruangan
tersebut. Ahlan menyusul Neyla yang sedang marah dan mencoba meredakannya.
“Lan, kadang-kadang aku nggak suka sama
anak itu.” ujar Neyla duduk di sofa sambil menyilangkan tangannya dengan wajah
cemberut.
“Tenang, Ney. Jangan diambil hati.
Lagipula ia hanya menyampaikan kata-kata kakek. Sebaiknya kamu minta maaf
karena sudah memarahinya.” Ahlan duduk disamping Neyla sambil mengusap
pundak-nya. Namun Neyla masih saja terlihat marah.
“Meminta maaf katamu? Tidak mau!” ucap
Neyla dengan raut wajah kesalnya.
“Neyla, aku minta maaf!” ujar Albert
tiba-tiba berdiri dihadapan Neyla.
“Sejak kapan dia disini?” gumam Ahlan
terkejut.
Neyla menatap Albert yang sedang
menyodorkan tangan tanda meminta maaf.
“Tuh, Ney. Albert sudah meminta maaf.
Cepat berjabat tangan!” Seru Ahlan merayu Neyla agar mau berbaikan.
Neyla terdiam sejenak dan akhirnya ia mau
menerima jabat tangan Albert.
“Baiklah untuk kali ini aku maafkan!”
ucap Neyla sambil memalingkan wajah.
Memang wanita memiliki rasa gengsi yang
tinggi. Padahal mereka yang melakukan salah, mereka pula yang menginginkan tanda
maaf. Sungguh sulit memahami mereka. Untung saja Albert langsung meminta maaf.
Kalau tidak. Mungkin akan semakin membesar masalahnya. Itulah yang dipikirkan
oleh Ahlan melihat kejadian tersebut.
“Oh iya, bolehkah aku bertanya kepadamu,
Albert?” ucap Ahlan.
“Boleh.” Jawab singkat Albert.
“Apakah kamu yang merawat benda-benda di
ruangan tadi?” tanya Ahlan.
“Iya. Memang kenapa?”
“Apakah kamu tahu dari mana prasasti yang
tadi kami amati?”
“Itu prasasti tiga peradaban.” Jawab
Albert.
Rupanya Albert diberi tugas untuk menjaga
dan merawat benda-benda antik milik kakek Neyla. Ia juga mengetahui tentang
apapun yang melekat pada benda-benda tersebut. Selain itu Albert sangat jenius.
Terbukti ia mampu mengalahkan beberapa kali kakek Neyla dalam bermain catur.
Selain itu ia sangat menyukai ilmu pengetahuan. Segala macam jenis buku ia
cerna. Termasuk buku-buku tentang benda-benda kuno. Tidak ada satu hari pun ia
tinggalkan kecuali membaca buku. Meski semua buku di tempat kakek Jason sudah
ia pelajari, tak henti ia mengulang membacanya. Sungguh seorang anak rajin dan
cerdas.
“Bisakah kamu ceritakan bagaimana asal
usul prasasti tersebut!” seru Ahlan .
“Ceritanya cukup panjang. Jika mau tahu
bisa kamu baca dalam buku the Cradle of Civilization.” Jawab Albert
menolak.
Ahlan termenung sejenak. Ternyata segala
pertanyaannya terdapat dalam buku yang tadi ia temukan. Namun pertanyaannya
adalah dimana buku itu sekarang? Terakhir Ahlan melihat dalam genggaman Neyla.
Tetapi tidak ada.
Neyla berdiri dan berjalan menuju halaman
belakang. “Mau kemana, Ney?” ujar Ahlan melihat Neyla pergi. Namun ia tidak
menjawab sedikitpun. Sepertinya ia masih marah tentang kejadian tadi. Dan
Albert pun meninggalkan Ahlan. Sekarang hanya Ahlan seorang diri duduk tertegun
dengan wajah penuh berbagai pertanyaan.
.”Haduh bukannya happy malah kacau
begini. Ku kira melepas penat di luar rumah akan lebih baik, ternyata tidak
sama sekali.” Gumam Ahlan kecewa.
Ahlan menundukan kepala memikirkan cara
untuk mengubah suasana kelam ini dengan keceriaan dan kebahagiaan. Ia ingin
semua bisa berkumpul bermain bersama seperti saat-saat kecil dulu. Kedua
tangannya menjenggut rambut seakan menandakan keputusasaan.
Tiba-tiba, “Ahlan!!!” terdengar sebuah
teriakan memanggil dari arah ruangan museum mini tadi. Ahlan bergegas berdiri
dan lari menghampiri sumber suara tersebut.
“Ada apa, Ney?” Ahlan mencoba bertanya
dengan suara cukup keras. Ia mengkhawatirkan Neyla. “Aku yakin tadi suara itu
suara Neyla.” Gumam Ahlan sambil mempercepat langkahnya.
Setelah ia memasuki ruangan tersebut. Ia
tidak menemukan seseorang pun. Ia menyusuri setiap sisi ruangan berharap
menemukan Neyla. “Ney, kamu dimana? Ney, apa yang terjadi?” Ahlan sangat cemas.
Hingga ia sampai di depan Prasasti Tiga Peradaban. Ia menemukan buku yang tadi
dicarinya tergeletak dilantai. Menambah rasa penasarannya ia mencoba berpikir.
“Buku ini terakhir kulihat dibawa oleh Neyla. Pasti ia tidak jauh dari sini.”
Ucap Ahlan dalam hati.
“Dimana Neyla?” tiba-tiba Albert menarik
kerah baju bagian depan Ahlan. Ia mengira Ahlan telah berbuat macam-macam
terhadap Neyla.
“Apa-apaan ini? Lepaskan!” Ahlan
mendorong Albert hingga terjatuh. Albert pun berdiri kembali.
“Apa yang kamu lakukan terhadap Neyla?
Jawab jujur! Tadi aku mendengar suaranya disini dan kulihat hanya ada kamu.”
Albert sangat mencurigai Ahlan.
“Aku juga sedang mencari Neyla. Kenapa
kau bisa mencurigaiku seperti itu. Sebaiknya kita mencarinya bersama.” Ujar
Ahlan membela diri.
“Dasar pembohong. Cepat jawab
pertanyaanku atau aku akan melaporkan ini ke kakek!” desak Ahlan tidak percaya
dengan pengakuan Ahlan. Albert melihat buku yang dipegang Ahlan dan langsung
merebutnya.
“Inikan buku kakek yang hilang!” gumam
Albert menambah rasa penasaran.
“Dari mana kamu mendapatkan buku ini?”
tanya Albert kembali.
“Aku menemukannya tergeletak di lantai.
Buku itu terakhir aku lihat dibawa oleh Neyla.” jawab Ahlan menjelaskan.
Albert membuka buku tersebut. Ia melihat sebuah
kalimat dan mencoba membacanya.
“Bu-ka-lah-ger-bang-wak-tu-du-ni-a-ti-ga-per-a-dab-an.”
Ahlan menterjemahkan kata demi kata.
“Apa yang kamu baca barusan?” tanya Ahlan
sambil melihat bibir Albert bergerak seperti mengatakan sesuatu.
Cahaya putih terpancar dari Prasasti Tiga
Peradaban. Ahlan dan Albert terkejut. Mereka menutupi silauan tersebut dengan
tangan sambil membuka mata perlahan-lahan. Mereka tertarik kedalam inti cahaya
tersebut.
“Sepertinya kita tersedot ke dalam cahaya
ini.” Ucap Ahlan sambil melawan daya tarikan tersebut. Ia melihat Albert sudah
mendekati inti cahaya tersebut. Sebagian tubuhnya sedikit demi sedikit hilang
tertelan. Ahlan semakin merasa takut. “Aaaaaarrghhh... toloooong!” suara
terakhir Albert yang terdengar oleh Ahlan dan ia menengok ke belakang ternyata
Albert telah meng-hilang entah kemana.
Kaki Ahlan terangkat perlahan. Badannya
melayang dan semakin tertarik masuk ke dalam inti cahaya. Ia memejamkan mata.
Tak sepatah kata pun ia ucapkan. Rupanya ia sedang berdoa agar terselamatkan.
Ahlan menghilang di telan cahaya tersebut.
Setelah melahap kedua anak tersebut.
Cahaya putih itu pun menipis. Semakin redup dan sirna tanpa meninggalkan jejak.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar