Selasa, 07 Februari 2017

Pendekatan Sosiologi Terhadap Pendidikan

Sosiologi adalah salah satu ilmu sosial yang memusatkan perhatiannya pada struktur dan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang meliputi distribusi peran yang dimainkan komponen-komponen pembentuknya beserta jalinan hubungan antara komponen-komponen itu, interaksi serta perubahanan-perubahan yang dialaminya (Saripudin, 2010, hlm. 1).
Selain itu, sosiologi juga dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial (Supardan, 2011, hlm. 70). Dari beberapa definisi di atas maka dapat dipahami bahwa objek kajian dari sosiologi antaralain masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya.
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki cakupan luas dan banyak cabang yang dipersatukan. Secara tematis, ruang lingkup sosiologi dapat dibedakan menjadi beberapa subdisiplin ilmu, salah satunya sosiologi pendidikan (Eductional Sociology yang kemudian menjadi Sociology of Education). Sosiologi pendidikan yakni suatu pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, yang dapat memberikan beberapa manfaat di dalam perumusan tujuan pendidikan, dan juga dapat membantu dalam mengembangkan konten dan metoda pendidikan.
Baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan, tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial, konteks berpengaruh tersebut begitu banyak dan luas. Perhatian terhadap fakta seperti itu merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa, untuk masyarakat apa, bilamana dan di mana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Interpretasi sosiologis dalam pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses-proses sosial dan pola-pola sosial yang berlangsung dalam sistem pendidikan. Asumsinya ialah, pendidikan merupakan suatu kombinasi tindakan-tindakan sosial, dan sosiologi melakukan analisi terhadap interaksi manusia. Analisis terhadap interaksi manusia dalam pendidikan bisa mencakup keduanya, baik yang terjadi dalam pendidikan formal, maupun yang berlangsung dalam berbagai proses komunikasi informal yang memberikan fungsi pendidikan. Juga diasumsikan bahwa analisis-analisis yang dimaksud akan menuntun kepada pengembangan generalisasi ilmiah mengenai hubungan-hubungan antar manusia di dalam sistem pendidikan (Saripudin, 2010, hlm. 2-3).
Seperti yang dikatakan Johnson (1981), analisis sosiologis dapat dilaksanakan pada tahap makro, struktur, dan mikro. Dalam kaitannya dengan pendidikan, antara lain:
a.       Analisis makro membahas hubungan antara pendidikan dengan institusi-institusi atau sistem-sistem sosial lain, misalnya hubungan antara pendidikan dengan sistem ekonomi, agama, politik, dan stratifikasi sosial.
b.      Analisis pada tahap struktur, melihat hubungan antara komponen dalam suatu lembaga pendidikan, misalnya hubungan guru dengan murid dan karyawan non edukatif serta pimpinan sekolah di suatu sekolah. Analisis messo atau analisis struktur memperhatian hubungan edukatif antara komponen-komponen struktural atau antara peran-peran yang terjadi dalam suatu unit kelembagaan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, pesantren, dan lain-lain.
c.       Analisis mikro membahas pendidikan pada tingkat interaksi langsung misalnya antara seorang guru dengan murid di dalam dan di luar kelas, interaksi antara seorang guru dengan kepala sekolah, antara seorang murid dengan guru dan seterusnya.
Maka dengan begitu, pendekatan sosiologi terhadap pendidikan membahas pendidikan dalam konteks struktur sosial masyarakat yang memaparkan analisis ilmiah atas proses sosial dan pola-pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan Dalam Sistem Sosial Masyarakat
Seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari persepsi beberapa golongan masyarakat dewasa kini terkait kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Ada salah satu pertanyaan yang dianggap “lucu” oleh sebagian orang namun memiliki subtansi yang menarik untuk direnungi. Pertanyaan tersebut adalah “apakah pergi ke sekolah itu perlu?”
Dari pertanyaan tersebut dapat ditarik beberapa asumsi terkait kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Pertama, pada saat ini sekolah merupakan suatu komponen yang “wajib” berada di dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat secara sadar harus bergantung pada peran dan fungsinya. Pertanyaan tersebut seolah membuat pandangan baru tentang kedudukan sekolah, bahwa timbul suatu keraguan untuk menempatkan sekolah sebagai salah satu komponen yang penting dalam kehidupan masyarakat. Kedua, masyarakat menemukan gambaran baru tentang makna pendidikan, sekolah dianggap terlalu sempit untuk dimaknai sebagai inti pendidikan. Pendidikan tidak selalu dibatasi oleh ruangan dan suatu sistem kurikulum yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Makna yang sebenarnya dari pendidikan adalah pengalaman manusia itu sendiri. Pengalaman yang tidak terbatas, yang bisa diperoleh dari mana saja, kapanpun dan dari siapapun. Jadi, kedudukan sekolah yang sudah sejak lama dianggap sebagai komponen yang penting dan menentukan kemajuan masyarakat mengalami kegoyahan.
Ada beberapa tokoh yang mencoba mendekonstruksi kedudukan sekolah dalam kehidupan masyarakat, antara lain Paulo Freire dan Ivan Illich. Secara tegas mereka mengkritik pandangan tentang realitas sosial yang menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam ketergantungan yang sama terhadap sekolah, pendidikan lalu membebani, baik orang kaya maupun orang miskin. Bagi, kedua kelompok tersebut, ketergantungan pada pelayanan lembaga membuat mereka menjadi sangsi akan kemampuan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri (Arif, 2014, hlm. 52). Ya, memang benar. Relatif pertanyaan tentang keraguan akan kedudukan sekolah ini seringkali keluar dari anggota masyarakat yang dapat dikatakan “miskin” atau “kurang mampu”.
Dari satu pertanyaan saja sudah memberikan makna yang mendalam tentang kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam sistem sosial masyarakat. Untuk lebih jelas dan rinci, maka diperlukan pendekatan yang mencoba menganalisi permasalahan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Talcott Parson tentang teori sistem sosial dan struktural fungsional.
Talcott Parsons mengungkapkan sebuah teori yang menjelaskan tentang sistem sosial. Dalam teori sistem sosial tersebut, Parsons dan rekan-rekannya mengembangkan kerangka A-G-I-L (Adaption, Goal, Intergration, dan Latent Pattern Maintenance), sebagai empat persyaratan fungsional dalam semua sistem sosial yang dikembangkan (Supardan, 2011, hlm.154-155).
1.      Adaptation menunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya yang bersifat trensformasi aktif dari situasi yang pada umumnya segi-segi situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan dan inflexible suatu kondisi yang tidak dapat ataupun sukar diubah.
2.      Goals Attainment merupakan persyaratan fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu selalu diarahkan pada tujuannya, terutama pada tujuan bersamapara anggota dalam suatu sistem sosial.
3.      Integration merupakan persyaratkan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam suatu sistem sosial.
4.      Lattern Pattern Maintenance menunjukan pada berhentinya interaksi, baik itu karena letih maupun jenuh, serta tunduk pada sistem sosial di mana dia berada.
Keempat persyaratan fungsional tersebut dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan yang juga terlibat dalam saling tukar antarlingkungan. Lingkungan sistem sosial terdiri atas lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme perilaku. Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut.
(1)   Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
(2)   Dengan demikian, hubungan pengaruh saling memengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
(3)   Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem, sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat minimal.
(4)   Sekalipun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi juga. Akan tetapi, di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
(5)   Perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian, dan tidak berlangsung secara revolusioner. Perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
Dari penjelasan teori di atas menerangkan bahwa dalam melihat masyarakat haruslah secara kompleks, artinya masyarakat terdiri dari komponen-komponen yang saling pengaruh dan memengaruhi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan, apakah salah satu komponen yang juga saling pengaruh memengaruhi dalam sistem sosial masyarakat? Jawabannya bisa dilihat dari peranan dan fungsinya yang dapat dirasakan masyarakat saat ini.
Meskipun sebagian masyarakat meragukan kedudukan sekolah dalam sistem sosial masyarakat, akan tetapi secara tidak langsung mereka mendapatkan pengaruh dari peranan dan fungsi sekolah tersebut. Mereka tidak bisa memungkiri bahwa sekolah telah menjadi kebutuhan untuk meningkatkan taraf hidup dan status sosial.
Dengan demikian, kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam sistem sosial masyarakat merupakan sesuatu yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Sekolah sebagai sarana untuk belajar, dapat memberikan pengetahuan umum dan spesialisasi. Serta sekolah sebagai pendidikan formal, bahwa institusi sekolah memiliki tanggung jawab untuk memberikan siswa pengetahuan formal yng diperlukan bagi dunia pekerjaan.
Selanjutnya sekolah sebagai transmisi kebudayaan. Sekolah tidak hanya berfungsi untuk menambah pengetahuan baru, melainkan juga berfungsi untuk  meneruskan nilai, dan sistem normatif. Durkheim beranggapan bahwa sekolah adalah sarana sosialisasi moral. Selain itu sekolah sebagai faktor mobilitas sosial, artinya pendidikanlah yang telah menyumbang terhadap terjadinya mobilitas sosial dengan membantu dalam memperkembangkan tingkat-tingkat lebih tinggi dari teknologi yang meningkatkan strukur pekerjaan.

REFERENSI
Arif, Mukhrizal dkk. (2014). Pendidikan Postmodernisme: Telaah kritis tokoh-tokoh pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Saripudin, Didin. (2010). Interpretasi sosiologi dalam pendidikan. Bandung: KYD.

Supardan, Dadang. (2011). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah kajian pendekatan struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

PENDIDIKAN ALA NATSIR: Perdana Menteri Yang Menggenggam Kapur

A.  Pendahuluan
Dalam memahami sejarah pendidikan di Indonesia banyak bahasan yang dapat ditemukan untuk dikaji. Secara kronologis, sejarah pendidikan di Indonesia dimulai sejak masa praaksara hingga modern, dari bentuk yang sederhana hingga kompleks atau luas mencakup berbagai aspek manusia. Daripada itu, hal yang menarik tentang dinamika perkembangan pendidikan di Indonesia adalah pengaruh pemikiran tokoh-tokoh bangsa yang membentuk ragam perspektif pendidikan di Indonesia. Salah satu pemikiran tokoh yang perlu diangkat semisal pandangan Mohammad Natsir terhadap dunia pendidikan.
Selain sebagai negarawan, politisi, diplomat bahkan ulama, Mohammad Natsir ikut serta memberikan kontribusinya dalam bidang pendidikan. Pemikirannya yang moderat terbentuk dari hasil didikan dua lingkungan yang berbeda. Beliau pernah menjadi siswa di sekolah umum buatan Belanda, juga beliau giat dalam berbagai kajian keagamaan. Hal ini yang memunculkan prinsip integral pendidikan yang mana akan membawanya sebagai perintis sekolah-sekolah partikelir (wilde school) Islam modern. Dimana pada saat itu masyarakat bumiputera masih kekurangan sarana pendidikan yang secara khusus diperkenankan untuk kalangan menengah ke bawah. Dari sekolah partikelir, beliau beranjak menuju lingkup yang lebih luas yaitu dengan membangun organisasi-organsasi pendidikan yang tersebar di Indonesia.
B.  Jejak Pendidikan Mohammad Natsir
Mohammad Natsir lahir pada Jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi, dari pasangan Sutan Saripado dan Khadijah sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Beliau dilahirkan disebuah kota sejuk, Alahan Panjang, Sumatera Barat (Natsir, 2014, hlm. 11-12).  Di kota ini beliau mendapatkan pendidikan dasar agama dari orang tuanya. Hal ini yang menyebabkan pemikiran beliau tak mudah digoyahkan dari jalur ke-Islam-annya.
Riwayat pendidikan Natsir dimulai di Sekolah Rakyat (SR) Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. Selanjutnya Natsir mendapat tawaran dari pamannya, Ibrahim ke Padang agar dapat menjadi siswa di Holland Inlandse School [HIS] Padang. Akan tetapi sekolah tersebut menolaknya. Natsir kemudian memasuki HIS Adabiyah (swasta) yang diperuntukan untuk anak-anak bumiputera. Hanya selama lima bulan ia menjalani pendidikan di sekolah ini, karena Natsir harus berpisah bersama ayahnya yang ditugaskan kembali ke Alahan Panjang. Ia pun menjalani pendidikan di sekolah HIS Pemerintah yang berada di kota Solok, dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa (Natsir, 2014, hlm. 12). Dan ketika sang ayah pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang tinggal bersama kakaknya. Di sana dia menamatkan pendidikan dasarnya sebelum akhirnya melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Bandung.
Disela-sela kesibukannya di sekolah pada pagi hari, Natsir juga belajar di Sekolah Diniyah pada sore hari dan belajar mengaji pada malam hari. Natsir juga mempelajari bahasa Arab. Pada waktu itulah Natsir mulai menunjukkan bakatnya sebagai seorang pendidik, saat ia duduk di kelas tiga, ia sudah diminta untuk mengajar kelas satu. Sebagai “imbalan” atas tugasnya itu Natsir memperoleh honorium sebesar sepuluh ribu rupiah sebulan (Natsir, 2014, hlm. 13).
Ketika di Padang, Natsir masuk menjadi salah satu anggota Pandu Nationale Islamietische Pavinderij -sejenis pramuka sekarang- dari perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane. Menurut Mohammad Natsir, perkumpulan merupakan taman pendidikan pelengkap yang didapatkan di sekolah (Puar, 1984, hlm. 4). Selain itu, organisasi juga sebagai arena dan sarana untuk menggemblengkan kemampuannya dalam berkiprah di tengah masyarakat.  Dari sana nampak minat Natsir terhadap organisasi. Ia mulai menunjukan bakatnya sebagai pemimpin dalam organisasi-organisasi tersebut.
Ia meneruskan pendidikan formalnya ke Algememe Midelbare School (AMS) Afdelling A di Bandung. Dari kota Bandung inilah sejarah panjang perjuangannya dimulai. Ia belajar agama Islam secara mendalam dan berkecimpung dalam gerakan politik, dakwah dan pendidikan. Di kota ini, ia bertemu dengan salah satu tokoh radikal Ahmad Hasan, pendiri Persis, yang diakuinya sangat mempengarui alam pikirannya.
Minat dan perhatiannya terhadap persoalan keislaman dan kemasyarakatan menyebabkan ia menolak tawaran untuk melanjutkan studinya ke bidang hukum di Rotterdam, Belanda, atau menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan gaji besar. Kedua tawaran itu diberikn sebagai hadiah atas keberhasilannya menyelesaikan studi di AMS dengan nilai tinggi (Natsir, 2014, hlm. 15). Namun bagi Natsir, membina dan mengembangkan wawasan bagi masyarakat melalui pendidikan jauh lebih penting. Untuk itu Natsir merealisasikannya dengan aktif di bidang pendidikan.
Sadar terhadap kondisi lingkungan sekolah umum yang mengajarkan agama, dia mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis). Suatu bentuk pendidikan modern yang mengkombinasi kurikulum pendidikan umum dengan kurikulum pendidikan pesantren. Ia menjabat sebagai direktur pendis selama sepuluh tahun. Sejak tahun 1932, lembaga itu akhirnya berkembang ke wilayah Jawa Barat dan Jakarta.
Setelah matang membangun Pendis, Natsir mengarahkan andilnya untuk membangun perguruan Islam lainnya. Ia melakukan adanya koordinasi dan penyelarasan program pendidikan perguruan Islam bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang memiliki keseragaman dasar dan cita-cita. Untuk merealisasikan tujuan ini, Natsir menyeru perguruan dan institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk wadah bersama yang diberi nama Perikatan Perguruan-Perguruan Muslim (PERMUSI). Dia menganggap karangannya yang dimuat dalam majalah Panji Islam itu sebagai seruan kepada perguruan-perguruan Islam yang ada, yang diminta agar dikirimi majalah tersebut supaya mereka dapat menyatakan persetujuaanya melaluai redaksi. Tetapi harapan itu sia-sia. Tak ada sambutan yang antusias terhadap gagasan tersebut, sehinnga ia terbengkalai begitu saja. Dan perguruan-perguruan Islam tetap saja berjalan menurut garisnya masing-masing tanpa memperdulikan kesulitan yang dihadapi murid-muridnya yang misalnya karena orang tuanya pindah kerja dia pun harus pindah sekolah pula (Rosyidi, 1990, hlm. 204-205).

Natsir juga tercatat sebagai penggagas di balik berdirinya Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS PTIS) yang memiliki anggota lebih dari 500 PTIS se-Indonesia. Dari gagasan Mohammad Natsie lahirlah kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar, seperti UII di Yogyakarta, UISU di Medan, UNISBA di Bandung, UMI di Makasar, UNISSULA di Semarang, UIR di Riau, Universita Al-Azhar Indonesia, dan LPDI Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammadiyyah (Natsir, 2014, hlm. 18).
Karirnya sebagai politisi dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Ketika tahun 1950, dalam usia yang relatif muda (42 tahun) menjabat perdana menteri Indonesia Mosi Integral-nya yang terkenal itu berhasil mengembalikan Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus mengantarkannya duduk di kursi perdana menteri. Namun, pada tahun 1967, Natsir mengalihkan perjuangannya dari politik ke dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dari sinilah justru Natsir menemukan masalah umat Islam yang sesungguhnya, yaitu keterbelakangan SDM umat.
Natsir menikah dengan Nur Hanar pada tanggal 20 Oktober 1934 di Bandung. Dari buah perkawinannya, dia dikaruniai enam anak yaitu, Sistem Muslihah (20 Maret 1936), Abu Hanifah (29 April 1037), Asma Farida (17 Maret 1939), Hasna Azizah (5 Mei 1941), Asyatul Asryah (20 Mei 1942) dan Ahmad Fauzan (26 April 1944).18 Dari keenam putra-putri tersebut, tidak ada satupun yang mengikuti jejak sang ayah, yaitu sebagai pemikir, politikus, dan ahli dakwah. Mohammad Natsir wafat pada tanggal 6 Pebruari 1993 bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun (Al-Asy’ari, 2014, hlm. 465).
C.  Pemikiran Terhadap Pendidikan: Tauhid sebagai Dasar Pendidikan
M. Natsir tahun 1934 dalam pidatonya saat Rapat Persatuan Islam di Bogor mengatakan sebagai berikut.
{Seringkali pula kenjataan, ada jang menganggap bahwa didikan Islam itu ialah didikan Timur, dan didikan Barat ialah lawan dari didikan Islam. Boleh djadi, ini reaksi terhadap didikan “kebaratan” jang ada dinegeri kita, jang memang sebagian dari akibat-akibatnja tidak mungkin kita menjetudjuinja sebagai umat Islam. Akan tetapi tjoba kita berhenti sebentar dan bertanja: “Apakah sudah boleh kita katakan bahwa Islam itu anti-Barat dan pro-Timur, chususnja dalam pendidikan?!
Pertanjaan itu hanja bisa kita djawab apabila sudah terdjawab lebih dulu: “Apakah kiranja jang mendjadi tudjuan dari didikan Islam itu?” Jang dinamakan didikan, ialah suatu pimpinan djasmani dan ruhani jang menudju kepada kesempurnaan dan lengkapnja sifat-sifat kemanusiaan dalam arti jang sesungguhnja} (Natsir, 1961, hlm. 81-82).
Sedangkan prinsip dasar dan tujuan dari pendidikan itu sendiri dijelaskan Natsir dalam majalah Pandji Islam tahun 1938 sebagai berikut:
{Sekiranja orang bertanja kepada pemimpin-pemimpin sekolah agama kita, dari Sabang sampai ke Endeh, dari Balikpapan sampai ke Tjiltjap, dari kota-kota jang besar sampai kedusun-dusun: “Apakah dasar dan tjita-tjita dari pendidikan jang tuan berikan?”, maka sudah tentu akan mendapat djawaban, pendek atau pandjang, dapat disimpulkan dengan: “Dasar didikan kami ialah Tauhid, jang tersimpul dalam dua kalimah-sjahadat, Tauhid, jang mendjadi pokok dari kemerdekaan dan kekuatan ruhani, dasar dari kemadjuan dan ketjerdasan manusia. Tudjuan pendidikan kami ialah mendidik anak-anak kami, agar sanggup memenuhi sjarat-sjarat penghidupan manusia sebagai jang tersimpul dalam kalam Allah: “Wabtaghi fimâ ata-kallahud-dâral-âchirata, wa lâ tansâ nashibaka minad-dun-jâ”…, supaja anak-anak kami itu dapat memenuhi kewadjiban-kewadjiban jang perlu mentjapai tingkat “hamba Allah”, jakni setinggi-tinggi deradjat jang mendjadi tudjuan bagi tiap-tiap manusia menurut kejakinan Muslimin, sebagaimana jang terlukis dalam firman Allah: “wa mâ chalaqtul-djinna wal insa illâ lija’buduni”}  (Natsir, 1961, hlm. 105).
Dari apa yang dikatakan di atas terlihat bahwa Natsir memagang prinsip integral, tidak dualistik dalam pendidikan. Natsir tidak menginginkan bahwa umat Islam hanya menguasai ilmu-ilmu agama sehingga tertinggal dalam persaingan global. Demikian juga sebaliknya. Dia tidak mau umat Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu “umum” dan buta terhadap agamanya yang akan menyebabkan mereka tidak mengetahui misi hidup yang sesungguhnya berdasarkan petunjuk Islam.
Pikirannya itu muncul setelah ia melihat kenyataan di lapangan pada masanya bahwa praktik pendidikan yang dihadapi umat satu sama lain saling menegasikan dan berseberangan. Di satu sisi, pendidikan klasikal a la Belanda yang baru diperkenalkan kepada masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama melalui kebijakan Politik Etis Belanda, sama sekali tidak mengajarkan dan menyentuh aspek-aspek agama. Sekularisme begitu jelas membayang-bayangi sistem pendidikan baru ini. Sementara di sisi lain, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli Indonesia bersikap antipati terhadap semua yang berbau Belanda. Sikap ini mudah untuk dimaklumi mengingat sepanjang abad ke-19, pihak pesantren dengan penuh semangat jihad fi sabilillah menggerakkan berbagai elemen umat dan masyarakat untuk berperang melawan penjajah Belanda yang telah sekian lama menindas rakyat Nusantara. Oleh sebab itu, apapun yang bau Belanda dianggap buruk dan harus disingkirkan, termasuk pendidikan yang ditawarkannya melalui Politik Etis.
Natsir adalah tokoh yang dibesarkan dalam dua dunia sekaligus. Melalui guru-guru mengajinya waktu kecil, ia mempelajari Islam dengan baik dari tradisi yang di Jawa disebut “pesantren”. Di kampung halamannya, lembaga pendidikan sejenis ini disebut “surau”. Oleh sebab itu, ia pun sekaligus dapat memahami bagaimana kultur yang berkembang di pesantren. Di sisi lain, ia oleh ayahnya yang tidak sepenuhnya menolak anasir-anasir kemodernan yang diperkenalkan Belanda, disekolahkan juga di sekolah modern made in Belanda. Ia bersekolah di HIS, kemudian meneruskan ke MULO, dan akhirnya menyelesaikan AMS di Bandung. Selama di Bandung, ia pun tidak hanya menyerap kultur pendidikan modern di AMS, tetapi juga mengikuti pengajian-pengajian agama di mesjid Persatuan Islam di bawah bimbingan Ahmad Hassan.
Latar belakang pendidikannya itulah yang membuat Natsir mengerti kedua kultur pendidikan yang saat itu saling menegasikan. Natsir melihat bahwa sebetulnya pada masing-masing terdapat kelemahan dan kelebihan seperti yang disebutkannya di atas. Oleh karena itulah, ia kemudian mencoba melakukan “integrasi” yang diharapkannya dapat mengatasi kebuntuan yang satu sama lain sebenarnya saling tidak menguntungkan. 
Natsir melihat bahwa titik pengikat di antara tarikan-tarikan kedua domain pendidikan yang dianggap saling bertentangan itu adalah “Tauhid”. Tauhid, menurutnya, adalah pangkal dari semua jenis pendidikan. Apapun yang diajarkan dalam sistem pendidikan manapun pada prinsipnya harus menjadikan peserta didiknya menjadi “bertauhid”. Setelah “bertauhid” setiap peserta didik harus mampu beramal dan melakukan berbagai aktivitas untuk meraih dua hal: kehidupan sejahtera di akhirat dan di dunia.
Untuk mendapatkan kesejahteraan di akhirat tentu ada ilmunya. Demikian juga untuk meraih kesejahteraan di dunia. Oleh sebab itu, kedua hal tersebut harus diajarkan secara seimbang kepada peserta didik. Bila salah satunya hilang, maka akan terjadi ketimpangan dalam pencapaian kehidupan ini. Terlalu berat mempelajari agama untuk kehidupan akhirat dengan menafikan pengetahuan (modern) untuk menghadapi dan “menaklukkan” kehidupan yang tengah dihadapi akan mengakibatkan umat Islam kalah langkah dari kaum kafir. Demkian juga sebaliknya, terlalu menekankan pengetahuan modern sambil menafikan pengetahuan agama, menyebabkan peserta didik tidak akan memiliki sikap moral “tauhid” yang sangat fundamental bagi kehidupan seorang manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
D.  Natsir, Persatuan Islam dan A. Hassan
Dalam membangun pemikirannya terhadap pendidikan, ada salah satu tokoh yang sangat mempengaruhi pemikiran Mohammad Natsir, yakni Ahmad Hassan. Beliau adalah salah satu tokoh perintis Persatuan Islam. Natsir pertama kali bertemu dengan A. Hassan ketika sedang mengenyam pendidikan di AMS Bandung.
Selama di Bandung, Natsir pun tidak hanya menyerap kultur pendidikan modern di AMS, tetapi juga mengikuti pengajian-pengajian agama di mesjid Persatuan Islam di bawah bimbingan Ahmad Hassan. Gagasan moderat A. Hassan pun mulai merasuki pemikiran Natsir yang sudah agak memudar perhatiannya terhadap Islam. Hal ini karena sebelumnya Natsir lebih dekat dengan para tokoh nasionalis seperti Soekarno di PNI.
Ahmad Hassan adalah mentor Natsir dalam memahami Islam dan perkembangannya. Sehingga pemikiran Natsir terhadap pendidikan pun ikut terbawa arus oleh pemikiran moderat A. Hassan. Tentang hubungan M. Natsir dengan Persis dijelaskan  DR. Thohir Luth, dalam bukunya M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya sebagai berikut, dikemukakan dalam riwayat hidupnya bahwa M. Natsir benar-benar mempunyai hubungan secara organisatoris dengan Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Bahkan melalui Persis ini, M. Natsir dapat bergaul dan mendapat didikan dari tokoh utama Persis, yaitu Ahmad Hassan. Disebutkan juga bahwa dari Persis  inilah M. Natsir mulai meniti  kariernya sebagai pejuang, negarawan dan agamawan. Ini berarti bagi M. Natsir, Persis merupakan dapur pertama yang menggodoknya menjadi seorang pemimpin terkemuka di Negara Republik Indonesia ini; dengan pengertian lain, Persis sangat berjasa mengantarkan M. Natsir sebagai tokoh dan pemimpin besar dunia.
E.  Perjuangan Membangun Pendidikan Islam
Perjuangan pertama yang dilakukan Natsir untuk mewujudkan visi pendidikannya adalah mendirikan lembaga pendidikan di lingkungan pergerakan Persatuan Islam di Bandung yang diberi nama “Pendidikan Islam” (Pendis) pada tahun 1927. Awalnya diselenggarakan semacam kursus pada sore hari bagi mereka yang telah menamatkan HIS namun tidak mampu melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Pelajarannya terdiri dari pengetahuan umum dan bahasa Inggris di samping pelajaran agama. Kelas yang pertama kali hanya diisi lima orang murid ini diselenggarakan selama dua jam, dari pukul tiga sampai pukul lima sore di sebuah gedung di Jalan Pangeran Soemedang yang sengaja disewa Natsir (Bachtiar, 2014)
Bulan-bulan berikutnya ternyata murid yang mendaftar semakin banyak. Kesulitan serius yang dihadapi Natsir setelah bertambahnya murid adalah masalah keuangan. Masalahnya ia harus menambah jumlah tempat duduk dan sarana pendidikan lain yang sudah tidak memadai lagi. Namun kesulitan itu dapat teratasi berkat bantuan Haji Muhammad Yunus, salah seorang saudagar kaya pendiri Persis, yang selalu memberikan bantuan keuangan bagi kepentingan pendidikan yang diselenggarakannya.
Sambil tetap memberikan kursus pada sore hari, ketika pemerintah membuka kursus untuk menjadi guru bagi tamatan HBS dan AMS yang lamanya hanya setahun, Natsir segera mengikutinya agar ia mendapat wewenang mengajar sebagai seorang guru (Rosidi, 1990, hlm. 161-164).
Pada bulan Maret 1932, diselenggarakan pertemuan dengan kaum muslimin yang menaruh perhatian terhadap masalah pendidikan. Pertemuan ini menyepakati berdirinya lembaga pendidikan bernama “Pendidikan Islam” yang cikal bakalnya adalah kursus sore hari yang dirintis oleh Natsir. Usaha yang akan dilakukan oleh lembaga pendidikan ini adalah menyelenggarakan dan mengembangkan pelajaran-pelajaran ilmu modern yang dipadukan dengan pelajaran dan pendidikan Islam dalam arti yang seluas-luasnya. Adapun program yang dijalankannya antara lain: mendirikan sekolah-sekolah seperti Frobel School (Taman Kanak-kanak), HIS, MULO, serta pertukangan dan perdagangan; mengadakan asrama (internaat), mengadakan kursu-kursus dan ceramah-ceramah. (Rosidi, 1990, hlm. 169). Selain itu dibuka pula kweekschool (sekolah guru). Natsir sendiri dipercaya untuk menjadi ketua di lembaga “Pendidikan Islam” ini.



Referensi

Al-Asy’ari, M. Khoirul Hadi. (2014). Dakwah transformatif Mohammad Natsir. Yogjakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Natsir, Mohammad. (1973). Capita selecta jilid 1. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Natsir, Mohammad. (2014). Islam sebagai dasar negara. Bandung: Sega Arsy.
Puar, A. Yusuf. (1978). M. Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara.
Rosyidi, Ajip. (1990). M. Natsir, sebuah biografi. Jakarta: Girimukti Pasaka.

Sumber Internet

Bachtiar, Tiar. (2014). M. Natsir: Dari pendis sampai dakwah kampus (peran M.Natsir dalam pembangunan pendidikan Indonesia). [online]. Diakses dari: https://www.academia.edu/9735289/M._Natsir_Dari_Pendis_sampai_Dakwah_Kampus_Peran_M._Natsir_dalam_Pembangunan_Pendidikan_Indonesia