Sosiologi adalah salah satu ilmu sosial
yang memusatkan perhatiannya pada struktur dan proses sosial yang terjadi dalam
masyarakat, yang meliputi distribusi peran yang dimainkan komponen-komponen
pembentuknya beserta jalinan hubungan antara komponen-komponen itu, interaksi
serta perubahanan-perubahan yang dialaminya (Saripudin, 2010, hlm. 1).
Selain itu, sosiologi juga dapat
didefinisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial,
gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun
perubahan sosial (Supardan, 2011, hlm. 70). Dari beberapa definisi di atas maka
dapat dipahami bahwa objek kajian dari sosiologi antaralain masyarakat dan
perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya.
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang
memiliki cakupan luas dan banyak cabang yang dipersatukan. Secara tematis,
ruang lingkup sosiologi dapat dibedakan menjadi beberapa subdisiplin ilmu,
salah satunya sosiologi pendidikan (Eductional
Sociology yang kemudian menjadi Sociology
of Education). Sosiologi pendidikan yakni suatu pendekatan sosiologis
terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, yang dapat memberikan beberapa
manfaat di dalam perumusan tujuan pendidikan, dan juga dapat membantu dalam
mengembangkan konten dan metoda pendidikan.
Baik tujuan maupun teknik-teknik
pendidikan, tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial,
konteks berpengaruh tersebut begitu banyak dan luas. Perhatian terhadap fakta seperti
itu merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa,
untuk masyarakat apa, bilamana dan di mana, merupakan pertanyaan-pertanyaan
sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Interpretasi sosiologis dalam pendidikan
merupakan analisis ilmiah tentang proses-proses sosial dan pola-pola sosial
yang berlangsung dalam sistem pendidikan. Asumsinya ialah, pendidikan merupakan
suatu kombinasi tindakan-tindakan sosial, dan sosiologi melakukan analisi
terhadap interaksi manusia. Analisis terhadap interaksi manusia dalam
pendidikan bisa mencakup keduanya, baik yang terjadi dalam pendidikan formal,
maupun yang berlangsung dalam berbagai proses komunikasi informal yang
memberikan fungsi pendidikan. Juga diasumsikan bahwa analisis-analisis yang
dimaksud akan menuntun kepada pengembangan generalisasi ilmiah mengenai
hubungan-hubungan antar manusia di dalam sistem pendidikan (Saripudin, 2010,
hlm. 2-3).
Seperti yang dikatakan Johnson (1981),
analisis sosiologis dapat dilaksanakan pada tahap makro, struktur, dan mikro.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, antara lain:
a.
Analisis makro
membahas hubungan antara pendidikan dengan institusi-institusi atau
sistem-sistem sosial lain, misalnya hubungan antara pendidikan dengan sistem
ekonomi, agama, politik, dan stratifikasi sosial.
b.
Analisis pada
tahap struktur, melihat hubungan antara komponen dalam suatu lembaga
pendidikan, misalnya hubungan guru dengan murid dan karyawan non edukatif serta
pimpinan sekolah di suatu sekolah. Analisis messo atau analisis struktur
memperhatian hubungan edukatif antara komponen-komponen struktural atau antara
peran-peran yang terjadi dalam suatu unit kelembagaan pendidikan (sekolah,
perguruan tinggi, pesantren, dan lain-lain.
c.
Analisis mikro
membahas pendidikan pada tingkat interaksi langsung misalnya antara seorang
guru dengan murid di dalam dan di luar kelas, interaksi antara seorang guru
dengan kepala sekolah, antara seorang murid dengan guru dan seterusnya.
Maka dengan begitu, pendekatan sosiologi
terhadap pendidikan membahas pendidikan dalam konteks struktur sosial
masyarakat yang memaparkan analisis ilmiah atas proses sosial dan pola-pola
sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Sekolah Sebagai
Lembaga Pendidikan Dalam Sistem Sosial Masyarakat
Seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan
yang keluar dari persepsi beberapa golongan masyarakat dewasa kini terkait
kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Ada salah satu pertanyaan yang
dianggap “lucu” oleh sebagian orang namun memiliki subtansi yang menarik untuk
direnungi. Pertanyaan tersebut adalah “apakah pergi ke sekolah itu perlu?”
Dari pertanyaan tersebut dapat ditarik
beberapa asumsi terkait kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Pertama,
pada saat ini sekolah merupakan suatu komponen yang “wajib” berada di dalam
kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat secara sadar harus bergantung pada
peran dan fungsinya. Pertanyaan tersebut seolah membuat pandangan baru tentang
kedudukan sekolah, bahwa timbul suatu keraguan untuk menempatkan sekolah
sebagai salah satu komponen yang penting dalam kehidupan masyarakat. Kedua,
masyarakat menemukan gambaran baru tentang makna pendidikan, sekolah dianggap
terlalu sempit untuk dimaknai sebagai inti pendidikan. Pendidikan tidak selalu
dibatasi oleh ruangan dan suatu sistem kurikulum yang wajib untuk diikuti dan
ditaati. Makna yang sebenarnya dari pendidikan adalah pengalaman manusia itu
sendiri. Pengalaman yang tidak terbatas, yang bisa diperoleh dari mana saja,
kapanpun dan dari siapapun. Jadi, kedudukan sekolah yang sudah sejak lama
dianggap sebagai komponen yang penting dan menentukan kemajuan masyarakat
mengalami kegoyahan.
Ada beberapa tokoh yang mencoba
mendekonstruksi kedudukan sekolah dalam kehidupan masyarakat, antara lain Paulo
Freire dan Ivan Illich. Secara tegas mereka mengkritik pandangan tentang
realitas sosial yang menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga
pendidikan. Dalam ketergantungan yang sama terhadap sekolah, pendidikan lalu
membebani, baik orang kaya maupun orang miskin. Bagi, kedua kelompok tersebut,
ketergantungan pada pelayanan lembaga membuat mereka menjadi sangsi akan
kemampuan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri (Arif, 2014, hlm. 52). Ya,
memang benar. Relatif pertanyaan tentang keraguan akan kedudukan sekolah ini
seringkali keluar dari anggota masyarakat yang dapat dikatakan “miskin” atau
“kurang mampu”.
Dari satu pertanyaan saja sudah
memberikan makna yang mendalam tentang kedudukan sekolah sebagai lembaga
pendidikan dalam sistem sosial masyarakat. Untuk lebih jelas dan rinci, maka
diperlukan pendekatan yang mencoba menganalisi permasalahan tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Talcott Parson tentang teori sistem sosial
dan struktural fungsional.
Talcott Parsons mengungkapkan sebuah
teori yang menjelaskan tentang sistem sosial. Dalam teori sistem sosial
tersebut, Parsons dan rekan-rekannya mengembangkan kerangka A-G-I-L (Adaption, Goal, Intergration, dan Latent
Pattern Maintenance), sebagai empat persyaratan fungsional dalam semua
sistem sosial yang dikembangkan (Supardan, 2011, hlm.154-155).
1.
Adaptation
menunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi
lingkungannya yang bersifat trensformasi aktif dari situasi yang pada umumnya
segi-segi situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan dan
inflexible suatu kondisi yang tidak
dapat ataupun sukar diubah.
2.
Goals Attainment
merupakan persyaratan fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu selalu
diarahkan pada tujuannya, terutama pada tujuan bersamapara anggota dalam suatu
sistem sosial.
3.
Integration
merupakan persyaratkan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota
dalam suatu sistem sosial.
4.
Lattern Pattern Maintenance menunjukan pada berhentinya interaksi, baik itu
karena letih maupun jenuh, serta tunduk pada sistem sosial di mana dia berada.
Keempat persyaratan fungsional tersebut
dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan yang juga terlibat dalam saling
tukar antarlingkungan. Lingkungan sistem sosial terdiri atas lingkungan fisik,
sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme perilaku. Pendekatan
fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan
para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai
berikut.
(1)
Masyarakat
haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain.
(2)
Dengan demikian,
hubungan pengaruh saling memengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah
bersifat ganda dan timbal balik.
(3)
Sekalipun
integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang
bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan
kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem,
sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat minimal.
(4)
Sekalipun
disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi juga. Akan tetapi, di
dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan
sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan
lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan
pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah
itu.
(5)
Perubahan di
dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian,
dan tidak berlangsung secara revolusioner. Perubahan yang terjadi secara
drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur
sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami
perubahan.
Dari penjelasan teori di atas
menerangkan bahwa dalam melihat masyarakat haruslah secara kompleks, artinya
masyarakat terdiri dari komponen-komponen yang saling pengaruh dan memengaruhi.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, apakah salah satu komponen yang juga saling
pengaruh memengaruhi dalam sistem sosial masyarakat? Jawabannya bisa dilihat
dari peranan dan fungsinya yang dapat dirasakan masyarakat saat ini.
Meskipun sebagian masyarakat meragukan
kedudukan sekolah dalam sistem sosial masyarakat, akan tetapi secara tidak langsung
mereka mendapatkan pengaruh dari peranan dan fungsi sekolah tersebut. Mereka
tidak bisa memungkiri bahwa sekolah telah menjadi kebutuhan untuk meningkatkan
taraf hidup dan status sosial.
Dengan demikian, kedudukan sekolah
sebagai lembaga pendidikan dalam sistem sosial masyarakat merupakan sesuatu
yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Sekolah sebagai sarana untuk belajar,
dapat memberikan pengetahuan umum dan spesialisasi. Serta sekolah sebagai
pendidikan formal, bahwa institusi sekolah memiliki tanggung jawab untuk
memberikan siswa pengetahuan formal yng diperlukan bagi dunia pekerjaan.
Selanjutnya sekolah sebagai transmisi
kebudayaan. Sekolah tidak hanya berfungsi untuk menambah pengetahuan baru,
melainkan juga berfungsi untuk
meneruskan nilai, dan sistem normatif. Durkheim beranggapan bahwa
sekolah adalah sarana sosialisasi moral. Selain itu sekolah sebagai faktor
mobilitas sosial, artinya pendidikanlah yang telah menyumbang terhadap
terjadinya mobilitas sosial dengan membantu dalam memperkembangkan
tingkat-tingkat lebih tinggi dari teknologi yang meningkatkan strukur
pekerjaan.
REFERENSI
Arif, Mukhrizal dkk. (2014). Pendidikan Postmodernisme: Telaah kritis
tokoh-tokoh pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Saripudin, Didin. (2010). Interpretasi sosiologi dalam pendidikan. Bandung:
KYD.
Supardan, Dadang. (2011). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah kajian
pendekatan struktural. Jakarta: Bumi Aksara.