Selasa, 07 Februari 2017

Pendekatan Sosiologi Terhadap Pendidikan

Sosiologi adalah salah satu ilmu sosial yang memusatkan perhatiannya pada struktur dan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang meliputi distribusi peran yang dimainkan komponen-komponen pembentuknya beserta jalinan hubungan antara komponen-komponen itu, interaksi serta perubahanan-perubahan yang dialaminya (Saripudin, 2010, hlm. 1).
Selain itu, sosiologi juga dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial (Supardan, 2011, hlm. 70). Dari beberapa definisi di atas maka dapat dipahami bahwa objek kajian dari sosiologi antaralain masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya.
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki cakupan luas dan banyak cabang yang dipersatukan. Secara tematis, ruang lingkup sosiologi dapat dibedakan menjadi beberapa subdisiplin ilmu, salah satunya sosiologi pendidikan (Eductional Sociology yang kemudian menjadi Sociology of Education). Sosiologi pendidikan yakni suatu pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, yang dapat memberikan beberapa manfaat di dalam perumusan tujuan pendidikan, dan juga dapat membantu dalam mengembangkan konten dan metoda pendidikan.
Baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan, tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial, konteks berpengaruh tersebut begitu banyak dan luas. Perhatian terhadap fakta seperti itu merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa, untuk masyarakat apa, bilamana dan di mana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Interpretasi sosiologis dalam pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses-proses sosial dan pola-pola sosial yang berlangsung dalam sistem pendidikan. Asumsinya ialah, pendidikan merupakan suatu kombinasi tindakan-tindakan sosial, dan sosiologi melakukan analisi terhadap interaksi manusia. Analisis terhadap interaksi manusia dalam pendidikan bisa mencakup keduanya, baik yang terjadi dalam pendidikan formal, maupun yang berlangsung dalam berbagai proses komunikasi informal yang memberikan fungsi pendidikan. Juga diasumsikan bahwa analisis-analisis yang dimaksud akan menuntun kepada pengembangan generalisasi ilmiah mengenai hubungan-hubungan antar manusia di dalam sistem pendidikan (Saripudin, 2010, hlm. 2-3).
Seperti yang dikatakan Johnson (1981), analisis sosiologis dapat dilaksanakan pada tahap makro, struktur, dan mikro. Dalam kaitannya dengan pendidikan, antara lain:
a.       Analisis makro membahas hubungan antara pendidikan dengan institusi-institusi atau sistem-sistem sosial lain, misalnya hubungan antara pendidikan dengan sistem ekonomi, agama, politik, dan stratifikasi sosial.
b.      Analisis pada tahap struktur, melihat hubungan antara komponen dalam suatu lembaga pendidikan, misalnya hubungan guru dengan murid dan karyawan non edukatif serta pimpinan sekolah di suatu sekolah. Analisis messo atau analisis struktur memperhatian hubungan edukatif antara komponen-komponen struktural atau antara peran-peran yang terjadi dalam suatu unit kelembagaan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, pesantren, dan lain-lain.
c.       Analisis mikro membahas pendidikan pada tingkat interaksi langsung misalnya antara seorang guru dengan murid di dalam dan di luar kelas, interaksi antara seorang guru dengan kepala sekolah, antara seorang murid dengan guru dan seterusnya.
Maka dengan begitu, pendekatan sosiologi terhadap pendidikan membahas pendidikan dalam konteks struktur sosial masyarakat yang memaparkan analisis ilmiah atas proses sosial dan pola-pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan Dalam Sistem Sosial Masyarakat
Seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari persepsi beberapa golongan masyarakat dewasa kini terkait kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Ada salah satu pertanyaan yang dianggap “lucu” oleh sebagian orang namun memiliki subtansi yang menarik untuk direnungi. Pertanyaan tersebut adalah “apakah pergi ke sekolah itu perlu?”
Dari pertanyaan tersebut dapat ditarik beberapa asumsi terkait kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Pertama, pada saat ini sekolah merupakan suatu komponen yang “wajib” berada di dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat secara sadar harus bergantung pada peran dan fungsinya. Pertanyaan tersebut seolah membuat pandangan baru tentang kedudukan sekolah, bahwa timbul suatu keraguan untuk menempatkan sekolah sebagai salah satu komponen yang penting dalam kehidupan masyarakat. Kedua, masyarakat menemukan gambaran baru tentang makna pendidikan, sekolah dianggap terlalu sempit untuk dimaknai sebagai inti pendidikan. Pendidikan tidak selalu dibatasi oleh ruangan dan suatu sistem kurikulum yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Makna yang sebenarnya dari pendidikan adalah pengalaman manusia itu sendiri. Pengalaman yang tidak terbatas, yang bisa diperoleh dari mana saja, kapanpun dan dari siapapun. Jadi, kedudukan sekolah yang sudah sejak lama dianggap sebagai komponen yang penting dan menentukan kemajuan masyarakat mengalami kegoyahan.
Ada beberapa tokoh yang mencoba mendekonstruksi kedudukan sekolah dalam kehidupan masyarakat, antara lain Paulo Freire dan Ivan Illich. Secara tegas mereka mengkritik pandangan tentang realitas sosial yang menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam ketergantungan yang sama terhadap sekolah, pendidikan lalu membebani, baik orang kaya maupun orang miskin. Bagi, kedua kelompok tersebut, ketergantungan pada pelayanan lembaga membuat mereka menjadi sangsi akan kemampuan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri (Arif, 2014, hlm. 52). Ya, memang benar. Relatif pertanyaan tentang keraguan akan kedudukan sekolah ini seringkali keluar dari anggota masyarakat yang dapat dikatakan “miskin” atau “kurang mampu”.
Dari satu pertanyaan saja sudah memberikan makna yang mendalam tentang kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam sistem sosial masyarakat. Untuk lebih jelas dan rinci, maka diperlukan pendekatan yang mencoba menganalisi permasalahan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Talcott Parson tentang teori sistem sosial dan struktural fungsional.
Talcott Parsons mengungkapkan sebuah teori yang menjelaskan tentang sistem sosial. Dalam teori sistem sosial tersebut, Parsons dan rekan-rekannya mengembangkan kerangka A-G-I-L (Adaption, Goal, Intergration, dan Latent Pattern Maintenance), sebagai empat persyaratan fungsional dalam semua sistem sosial yang dikembangkan (Supardan, 2011, hlm.154-155).
1.      Adaptation menunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya yang bersifat trensformasi aktif dari situasi yang pada umumnya segi-segi situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan dan inflexible suatu kondisi yang tidak dapat ataupun sukar diubah.
2.      Goals Attainment merupakan persyaratan fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu selalu diarahkan pada tujuannya, terutama pada tujuan bersamapara anggota dalam suatu sistem sosial.
3.      Integration merupakan persyaratkan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam suatu sistem sosial.
4.      Lattern Pattern Maintenance menunjukan pada berhentinya interaksi, baik itu karena letih maupun jenuh, serta tunduk pada sistem sosial di mana dia berada.
Keempat persyaratan fungsional tersebut dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan yang juga terlibat dalam saling tukar antarlingkungan. Lingkungan sistem sosial terdiri atas lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme perilaku. Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut.
(1)   Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
(2)   Dengan demikian, hubungan pengaruh saling memengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
(3)   Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem, sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat minimal.
(4)   Sekalipun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi juga. Akan tetapi, di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
(5)   Perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian, dan tidak berlangsung secara revolusioner. Perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
Dari penjelasan teori di atas menerangkan bahwa dalam melihat masyarakat haruslah secara kompleks, artinya masyarakat terdiri dari komponen-komponen yang saling pengaruh dan memengaruhi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan, apakah salah satu komponen yang juga saling pengaruh memengaruhi dalam sistem sosial masyarakat? Jawabannya bisa dilihat dari peranan dan fungsinya yang dapat dirasakan masyarakat saat ini.
Meskipun sebagian masyarakat meragukan kedudukan sekolah dalam sistem sosial masyarakat, akan tetapi secara tidak langsung mereka mendapatkan pengaruh dari peranan dan fungsi sekolah tersebut. Mereka tidak bisa memungkiri bahwa sekolah telah menjadi kebutuhan untuk meningkatkan taraf hidup dan status sosial.
Dengan demikian, kedudukan sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam sistem sosial masyarakat merupakan sesuatu yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Sekolah sebagai sarana untuk belajar, dapat memberikan pengetahuan umum dan spesialisasi. Serta sekolah sebagai pendidikan formal, bahwa institusi sekolah memiliki tanggung jawab untuk memberikan siswa pengetahuan formal yng diperlukan bagi dunia pekerjaan.
Selanjutnya sekolah sebagai transmisi kebudayaan. Sekolah tidak hanya berfungsi untuk menambah pengetahuan baru, melainkan juga berfungsi untuk  meneruskan nilai, dan sistem normatif. Durkheim beranggapan bahwa sekolah adalah sarana sosialisasi moral. Selain itu sekolah sebagai faktor mobilitas sosial, artinya pendidikanlah yang telah menyumbang terhadap terjadinya mobilitas sosial dengan membantu dalam memperkembangkan tingkat-tingkat lebih tinggi dari teknologi yang meningkatkan strukur pekerjaan.

REFERENSI
Arif, Mukhrizal dkk. (2014). Pendidikan Postmodernisme: Telaah kritis tokoh-tokoh pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Saripudin, Didin. (2010). Interpretasi sosiologi dalam pendidikan. Bandung: KYD.

Supardan, Dadang. (2011). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah kajian pendekatan struktural. Jakarta: Bumi Aksara.